Rabu, 28 Mei 2014

Penjara Penuh Sesak di Berbagai Negara



PENJARA PENUH SESAK (OVER KAPASITAS)
DI BERBAGAI NEGARA

Chairil A Adjis  dan  Dudi Akasyah

Penjara yang mengalami over kapasitas tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan banyak terjadi di negara-negara lain di berbagai benua. Tidak hanya negara miskin melainkan negara maju pun mengalami problem yang sama.
Keterbatasan kebijakan criminal serta aplikasinya pun terjadi di berbagai negara, bahkan negara maju sekalipun tidak menunjukan langkah yang menggemberikan. Semuanya hanya pasrah terhadap sistem penjara yang jelek, seolah-olah tak kuasa dalam menghalau kehancuran dari penjara di masa depan.
Professor Andrew Coyle, dari Pusat Studi Penjara Internasional di London (ICPS) sebagaimana disampaikan oleh Radio Nederland Wereldomroep (RNW). Coyle menyatakan bahwa ada tiga faktor yang membuat keadaan penjara menyedihkan: Pertama, penjara penuh sesak. Kedua, sarana yang buruk dan kurang aman. Ketiga, petugas yang kurang serta rendahnya pendidikan.
Penjara yang penuh sesak sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Udara yang pengap, penghuni yang berdesakan, narapidana kesulitan tidur, kesulitan beraktifitas, buang hajat, dan rentan terjadinya bentrokkan fisik.
Sarana yang buruk akan memudahkan munculnya penyakit. Kesehatan terancam. Situasi yang buruk akan merangsang narapidana berbuat buruk jika mereka merasakan bahwa perlakuan penjara melebihi kualitas dari kejahatan yang dilakukannya.
Kurangnya petugas penjara akan menjadikan penjara yang mulanya bercita-cita sebagai lembaga reha-bilitasi akan memudar. Sebab un-tuk memperbaiki tingkah-laku sangat diperlukan petugas yang cukup baik secara kuantitas
maupun  kualitas. Penjara sebagai tempat berkumpulnya ratusan narapidana sangat ironi apabila tidak mampu diimbangi dengan jumlah petugas yang memadai. Alih-alih mau memperbaiki, malahan LP menjadi sekolah kejahatan.
Kendala yang disebutkan Profesor Andrew Coyle ditemukan di berbagai Negara. Ia menyebutkan bahwa:
"Di Eropa kami punya Komisi Pencegahan Penyiksaan dari Dewan Eropa. Mereka mengunjungi 47 negara anggota dan hasilnya, komisi menemukan bahkan di Belanda dan Inggris pun peraturan tidak sepenuhnya dijalankan."
Sudah bukan rahasia lagi, jika mengurusi penjara bukan urusan enteng. Apabila penjara dibiarkan rusak maka yang dilanggar adalah hak-hak narapidana, sebaliknya apabila penjara diperbagus maka akan merampas hak-hak masyarakat. Intinya adalah, bagaimana agar proporsional, hak narapidana terpenuhi dan hak keadilan dan kenyamanan masyarakat terjamin.
Sebagai sebuah gambaran tentang betapa buruknya kondisi penjara di berbagai negara dapat dilihat di bawah ini.[1]
Penjara Mendoza, Argentina
Penjara sesak penuh terjadi di Argentina. Salah satunya di Penjara Mendoza, penjara ini sebenarnya berkapasitas 600 tahanan, namun dalam kenyataannya diisi sebanyak tiga kali lipat lebih banyak.
Para penghuni di penjara Mendoza sangat mudah terkena penyakit. Hal ini disebabkan oleh sarana penjara yang buruk. Berbagai macam penyakit.
Kondisi ruang isolasi sangat menjijikan, tidak ada kamar mandi dan toilet sehingga narapidana buang hajat memakai kantung plastik.
Penjara Abu Ghraib, Irak
Penjara Abu Ghraib keadaannya sangat tidak layak. Problemnya tidak hanya penjara penuh sesak, namun kerap terjadi tindak kriminal di dalam penjara, tindak kriminal tersebut berupa penyiksaan dan pelecehan.
Penjara Nairobi, Kenya
Satu sel yang seharusnya diisi tiga orang tetapi dipaksa diisi sebanyak 12 orang. Penjara tsb berkapasitas 800 orang namun diisi 3.000 orang. Akibatnya penjara penuh sesak, para napi berdesak-desakan, hal ini dapat membuat mereka stress yang sewaktu-waktu menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam penjara dan beberapa hal negatif lainnya.
Penjara Cipinang, Indonesia
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Penjara over kapasitas terjadi dimana-mana. Contohnya di LP Cipinang. Kapasitas penjara adalah 1.500 orang, namun kenyataannya diisi oleh 4.000 orang.
Budaya sogok atau suap banyak terjadi. Jika narapidana memberi sejumlah maka ia mendapat fasilitas berupa ruang penjara yang lebih nyaman.
Penjara sesak penuh yang terjadi di berbagai negara menunjukan bahwa negara belum serius di dalam menangani masalah kriminalitas. Meningkatnya jumlah narapidana belum cukup untuk menggungah para pembuat kebijakan, dalam hal ini negara, untuk lebih serius di dalam mengatasi kriminalitas. Kejahatan yang semakin tinggi, tentu sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan orang banyak.
Masyarakat tidak ingin keamanannya diganggu dan hak-haknya dirampas. Namun, harapan agar kenyamanan terwujud adalah utopis manakala negara tidak menaruh perhatian serius dalam menangani kejahatan. Demikian juga, pelaku kriminal mereka juga mempunyai hak sebagai manusia yang ingin diperlakukan adil dan menatap masa depan dengan tekad untuk merubah diri.
Buruknya perhatian negara terhadap pelaksanaan hukum juga terjadi di Amerika Serikat yang selama ini selalu mendengung-dengungkan supremasi hukum.
Darrel Gilliard dan Allen Back[2] menyatakan bahwa di Amerika Serikat telah terjadi  peningkatan  tajam  jumlah
narapidana dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 jumlah narapidana mencapai 1.100.000 orang. Sebagai perbandingan, antara tanggal 1 Juli 1996 sampai 30 Juni 1997 (satu tahun penuh), pertumbuhan populasi penghuni penjara sebesar 4,7 persen. Adapun pertumbuhan populasi penjara sejak tahun 1990 sebesar 7,7 persen.
Mengapa penjara penuh sesak, salah satunya disebabkan karena meningkatnya angka kejahatan. Siegel menyebutkan bahwa masih dikatakan stabil jika angka kejahatan 45 persen, apalagi dibantu dengan penjara sebagai tempat rehabilitasi seharusnya paling tidak, berada pada posisi 45 persen.
Namun, fakta di lapangan menunjukan bahwa angka kejahatan di Amerika Serikat dari tahun ke tahun semakin meningkat. Patrick A Langan dan Jodi M Brown memberikan gambaran bahwa jumlah kasus pembunuhan (murder) meningkat dari tahun ke tahun, misalnya tahun 1988 (48 persen), tahun 1990 (55 persen), tahun 1992 (65 persen), dan tahun 1994 (65 persen).[3]


[1] Radio Nederland Wereldomroep Indonesia (RNW). Sebagian data diperoleh dari RNW Sabtu 3 Maret 2012
[2] Darrel Gilliard dan Allen Beck, Prison and Jail at Midyear 1997 (Washington, DC: Bureau of Justice Statistic, 1999). dalam Larry Siegel, Kriminology (Belmont CA: Wadsworth/Thomson Learning, halaman 594.
[3] Patrick A Langan dan Jodi M Brown, Felony Sentences in State Courts, 1994 (Washington DC: Bureau of Justice Statistic, 1998), dalam Larry Siegel, Op.Cit, halaman 595.

Penjara Over Kapasitas


PENJARA
Kewalahan Menampung
Membludaknya Narapidana

Chairil A Adjis   -    Dudi Akasyah 
 
 
Penjara selalu dipandang sebagai tujuan seseorang dipidana. Keti-ka kekecewaan, frustrasi, pembelajaran sosial, dan keamanan masyarakat bermuara kepada penjara. Maka pertanyaannya ada-lah apakah penjara dapat menyelesaikan masalah atau malah menimbulkan masalah. Hal ini perlu dikaji secara empiris dan kritis agar ditemukan metode yang lebih efektif dan efisien, serta yang terpenting diperolehnya rasa keadilan baik oleh pelaku, korban, masyarakat, dan negara.
Indonesia: Penjara Penuh
Jumlah narapidana meningkat tajam. Tak ayal penjara dipenuhi oleh narapidana. Tahun-tahun sebelumnya penjara sudah penuh, sekarang keadaannya semakin sesak. Tak dapat dibayangkan tahun-tahun yang akan datang kepadatannya akan seperti apa.
Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari Negara, tidak hanya pembangunan infrastruktur, namun yang lebih efektif dan efisien adalah pemilihan strategi atau kebijakan kriminal yang tepat.
Jumlah penghuni penjara di Indonesia (Februari 2012) berjumlah 155.953 penghuni (Media Indonesia.Com), sedangkan daya tampung penjara 95.000 orang. Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sihabudin, menyatakan bahwa: “Perbandingan ini sudah jelas menunjukan kurangnya fasilitas penampungan.”
Jika melihat membeludaknya jumlah narapidana maka dapat dibayangkan betapa pengapnya keadaan penjara. Situasi yang tidak manusiawi akan menimbulkan akibat yang tidak baik di masa yang akan datang.
JUMLAH PENJARA DI INDONESIA
NO
PERIODE
JUMLAH
1
Tahun 2009
428 Penjara
2
Tahun 2010
442 Penjara
Sumber: Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM, Februari 2012


PENJARA OVER KAPASITAS

NO
KONDISI PENJARA
JUMLAH
1
Penjara Over Kapasitas
29 Kanwil
2
Penjara Normal
4 Kanwil
Jumlah Total Kanwil di Indonesia
33 Kanwil
Sumber: Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM, Februari 2012


Penjara yang mengalami over kapasitas terjadi pada hampir semua penjara di Indonesia. Terlebih lagi di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota lainnya. Dari sekian banyak, hanya 4 Kanwil di Indonesia yang masih normal (jumlah total 33 Kanwil), selebihnya (29 Kanwil) mengalami over kapasitas.
Padahal masih baru dalam ingatan, yaitu tahun 2010 telah didirikan Lembaga Pemasyarakatan yang baru yaitu 14 LP (Pada Masa Menhuk-Ham Patrialis Akbar), namun LP Baru tersebut dalam waktu singkat sudah berjubel lagi dengan narapidana. Jumlah total penjara pada saat ini (2012) yaitu 442 LP.
NARAPIDANA DI INDONESIA
JANUARI-FEBRUARI 2012
NO
BULAN
JUMLAH NARAPIDANA
PERTAMBAHAN
1
JANUARI
141.000
4.000 orang
per dua bulan
2
FEBRUARI
145.000
Sumber: Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM, Februari 2012
Di sisi lain, kejahatan dari hari ke hari kian meningkat. Bahkan dalam kurun waktu 2 bulan (Awal Januari sampai akhir Februari 2012), orang yang menjadi narapidana berjumlah 4.000 orang. Berarti setiap bulan pemerintah harus membangun minimal 1 (satu) LP, tentu hal itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Sebagai gambaran, awal Januari 2012 jumlah narapidana se-Indonesia berjumlah 141.000 orang, adapun di akhir Februari 2012 (saat penulis sedang mencatat analisis ini) berjumlah 145.000 orang, berarti dalam kurun waktu dua bulan penambahan narapidana mencapai 4.000 orang.
Penjara yang over kapasitas disebabkan banyak faktor diantaranya:
1.   Jumlah narapidana yang masuk lebih besar daripada jumlah narapidana yang bebas
2.   Konsekuensi dari meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk
3.   Tren kriminalitas meningkat tajam
4.   Narapidana yang menjalani hukuman bertahun-tahun
5.   Jumlah Penjara tidak bertambah
Penjara yang berjubel akan memberi akibat yang tidak baik, di satu sisi perlakuan yang tidak manusiawi, di sisi lain akan menimbulkan perbuatan anti-sosial, disamping terabaikannya kesehatan narapidana. Tindak kriminal akan terus bertambah, namun infrastruktur penjara belum tentu bertambah. Apabila tidak segera dicarikan jalan keluarnya maka akan berakibat buruk bagi pemenjaraan di masa yang akan datang. Sebenarnya, tidak harus terpaku kepada membangun LP baru, namun perlu adanya pemahaman yang sinergi antara negara, pembuat kebijakan kriminal dengan sistem peradilan pidana yang ada. Jangan sampai hakim keasyikan memvonis kurungan penjara, padahal penjara sudah sesak dengan penghuni. Namun hakim juga akan berdalih bahwa Hukum Pidana juga harus dibenahi sebab para hakim menggunakan Hukum Pidana sebagai dasar pijakannya.
Jika kita mengunjungi penjara-penjara maka secara kasat mata kita akan disuguhi oleh napi yang berjubel. Ruang-ruang kecil yang diisi sesak.
Sebagai contoh, hal serupa terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang. Kondisi LP sudah penuh. Bahkan banyak narapidana tidak bisa tidur di sel, mereka tidur bergeletakan di luar sel.[1]
LP Kelas 1 Tangerang sampai saat ini dihuni oleh 1.594 narapidana, padahal daya tampung Penjara tsb hanya 600 orang. Hampir tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah yang ditentukan. Hal ini lebih diperparah dengan narapidana atau tahanan titipan dari Jakarta, Tengerang, dan Banten. Di penjara itu memiliki tujuh blok, semuanya sudah penuh sesak. Mantan Ketua KPK yang kini menjadi narapidana yaitu Antasari Ashar mengakui ketidak-nyamanan tersebut.
Akhirnya, karena tidak ada cara lain, ruang apapun digunakan untuk tempat tidur napi. Ruangan kosong meski di luar sel dipakai untuk tidur napi, termasuk koridor paviliun. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka tidak dapat dibayangkan bagaimana situasi penjara ke depannya.
Apabila petugas penjara kebingungan maka bagaimana pula dengan narapidana itu sendiri? Sebagai manusia suatu saat mereka akan berontak apabila situasi penjara sudah tidak memungkinkan untuk dihuni.
Jumlah petugas setiap shift hanya 17 orang. Jumlah ini tidak rasional jika dibandingkan dengan jumlah napi yang mencapai 1.500 orang lebih. Dengan keterbatasan jumlah petugas maka akan terbatas pula penanganan terhadap napi. Padahal untuk pembinaan dan urusan lainnya perlu melibatkan jumlah petugas yang cukup.
Penjara ini memiliki lima kamera pengintai namun yang tiga rusak sehingga hanya dua kamera yang berfungsi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terbatasnya pengawasan. Akibatnya, apabila ada kekerasan atas tindak kriminal di dalam sel maka petugas akan kesulitan dalam mendeteksi.
Situasi di LP tersebut di atas, hanya potret kecil dari gambaran umum tentang penjara yang ada di Indonesia. Tak ubahnya seperti potret suram tentang penjara yang serba tidak pasti dan serba tidak jelas arah dan tujuannya.
Penjara yang selalu digaungkan sebagai terminal akhir yang menyelesaikan masalah justru menjadi biang masalah. Di dalam penjara 1001 masalah muncul. Jika sebelumnya seseorang punya satu masalah maka setelah ia dimasukkan ke sel masalah dia semakin bertambah, semakin komplek. Seseorang
dimasukkan ke dalam penjara, bertemu dengan orang bermasalah, berhadapan dengan petugas yang bingung menghadapi banyaknya narapidana, keterbatasan daya tampung, perkelahian antar penghuni, penjualan narkoba, dan banyak masalah lainnya.
Di sisi lain, kiriman narapidana dari LP lain tak kunjung henti. Datangnya tidak bisa diduga, jumlahnya pun tak bisa ditawar. Alasannya penjara ini dan itu sudah penuh semua. Petugas penjara tak bisa berbuat apa-apa sebab mereka hanya aparat pelaksana di lapangan.




[1] Keterangan dari Kepala LP Kelas 1 Tangerang, Supriyadi, kepada Tempo.co, Rabu 4 Januari 2012