PENJARA
PENUH SESAK (OVER KAPASITAS)
DI
BERBAGAI NEGARA
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Penjara
yang mengalami over kapasitas tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan
banyak terjadi di negara-negara lain di berbagai benua. Tidak hanya negara
miskin melainkan negara maju pun mengalami problem yang sama.
Keterbatasan
kebijakan criminal serta aplikasinya pun terjadi di berbagai negara, bahkan
negara maju sekalipun tidak menunjukan langkah yang menggemberikan. Semuanya
hanya pasrah terhadap sistem penjara yang jelek, seolah-olah tak kuasa dalam
menghalau kehancuran dari penjara di masa depan.
Professor
Andrew Coyle, dari
Pusat Studi Penjara Internasional di
London (ICPS) sebagaimana disampaikan oleh Radio Nederland Wereldomroep (RNW).
Coyle menyatakan bahwa ada tiga
faktor yang membuat keadaan penjara menyedihkan: Pertama, penjara penuh sesak.
Kedua, sarana yang buruk dan kurang aman. Ketiga, petugas yang kurang serta
rendahnya pendidikan.
Penjara yang
penuh sesak sangat mencederai nilai-nilai
kemanusiaan. Udara yang pengap, penghuni yang berdesakan, narapidana kesulitan
tidur, kesulitan beraktifitas, buang hajat, dan rentan terjadinya bentrokkan
fisik.
Sarana yang
buruk akan memudahkan munculnya
penyakit. Kesehatan terancam. Situasi yang buruk akan merangsang narapidana
berbuat buruk jika mereka merasakan bahwa perlakuan penjara melebihi kualitas
dari kejahatan yang dilakukannya.
Kurangnya
petugas penjara akan menjadikan penjara yang
mulanya bercita-cita sebagai lembaga reha-bilitasi akan memudar. Sebab un-tuk
memperbaiki tingkah-laku sangat diperlukan petugas yang cukup baik secara
kuantitas
maupun kualitas. Penjara sebagai tempat berkumpulnya
ratusan narapidana sangat ironi apabila tidak mampu diimbangi dengan jumlah
petugas yang memadai. Alih-alih mau memperbaiki, malahan LP menjadi sekolah
kejahatan.
Kendala
yang disebutkan Profesor Andrew Coyle ditemukan di berbagai Negara. Ia
menyebutkan bahwa:
"Di
Eropa kami punya Komisi Pencegahan Penyiksaan dari Dewan Eropa. Mereka
mengunjungi 47 negara anggota dan hasilnya, komisi menemukan bahkan di Belanda
dan Inggris pun peraturan tidak sepenuhnya dijalankan."
Sudah
bukan rahasia lagi, jika mengurusi penjara bukan urusan enteng. Apabila penjara
dibiarkan rusak maka yang dilanggar adalah hak-hak narapidana, sebaliknya
apabila penjara diperbagus maka akan merampas hak-hak masyarakat. Intinya
adalah, bagaimana agar proporsional, hak narapidana terpenuhi dan hak keadilan
dan kenyamanan masyarakat terjamin.
Sebagai
sebuah gambaran tentang betapa buruknya kondisi penjara di berbagai negara
dapat dilihat di bawah ini.[1]
Penjara Mendoza, Argentina
Penjara
sesak penuh terjadi di Argentina. Salah satunya di Penjara Mendoza, penjara ini
sebenarnya berkapasitas 600 tahanan, namun dalam kenyataannya diisi sebanyak tiga
kali lipat lebih banyak.
Para
penghuni di penjara Mendoza sangat mudah terkena penyakit. Hal ini disebabkan
oleh sarana penjara yang buruk. Berbagai macam penyakit.
Kondisi
ruang isolasi sangat menjijikan, tidak ada kamar mandi dan toilet sehingga
narapidana buang hajat memakai kantung plastik.
Penjara Abu Ghraib, Irak
Penjara
Abu Ghraib keadaannya sangat tidak layak. Problemnya tidak hanya penjara penuh
sesak, namun kerap terjadi tindak kriminal di dalam penjara, tindak kriminal
tersebut berupa penyiksaan dan pelecehan.
Penjara Nairobi, Kenya
Satu
sel yang seharusnya diisi tiga orang tetapi dipaksa diisi sebanyak 12 orang.
Penjara tsb berkapasitas 800 orang namun diisi 3.000 orang. Akibatnya penjara
penuh sesak, para napi berdesak-desakan, hal ini dapat membuat mereka stress
yang sewaktu-waktu menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam penjara dan
beberapa hal negatif lainnya.
Penjara Cipinang, Indonesia
Hal
yang sama terjadi di Indonesia. Penjara over kapasitas terjadi dimana-mana.
Contohnya di LP Cipinang. Kapasitas penjara adalah 1.500 orang, namun
kenyataannya diisi oleh 4.000 orang.
Budaya
sogok atau suap banyak terjadi. Jika narapidana memberi sejumlah maka ia
mendapat fasilitas berupa ruang penjara yang lebih nyaman.
Penjara
sesak penuh yang terjadi di berbagai negara menunjukan bahwa negara belum
serius di dalam menangani masalah kriminalitas. Meningkatnya jumlah narapidana
belum cukup untuk menggungah para pembuat kebijakan, dalam hal ini negara,
untuk lebih serius di dalam mengatasi kriminalitas. Kejahatan yang semakin
tinggi, tentu sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan orang banyak.
Masyarakat
tidak ingin keamanannya diganggu dan hak-haknya dirampas. Namun, harapan agar
kenyamanan terwujud adalah utopis manakala negara tidak menaruh perhatian
serius dalam menangani kejahatan. Demikian juga, pelaku kriminal mereka juga
mempunyai hak sebagai manusia yang ingin diperlakukan adil dan menatap masa depan
dengan tekad untuk merubah diri.
Buruknya
perhatian negara terhadap pelaksanaan hukum juga terjadi di Amerika Serikat
yang selama ini selalu mendengung-dengungkan supremasi hukum.
Darrel Gilliard dan Allen Back[2]
menyatakan bahwa di Amerika Serikat telah terjadi peningkatan tajam jumlah
narapidana
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 jumlah narapidana mencapai
1.100.000 orang. Sebagai perbandingan, antara tanggal 1 Juli 1996 sampai 30
Juni 1997 (satu tahun penuh), pertumbuhan populasi penghuni penjara sebesar 4,7
persen. Adapun pertumbuhan populasi penjara sejak tahun 1990 sebesar 7,7
persen.
Mengapa
penjara penuh sesak, salah satunya disebabkan karena meningkatnya angka
kejahatan. Siegel menyebutkan bahwa
masih dikatakan stabil jika angka kejahatan 45 persen, apalagi dibantu dengan
penjara sebagai tempat rehabilitasi seharusnya paling tidak, berada pada posisi
45 persen.
Namun,
fakta di lapangan menunjukan bahwa angka kejahatan di Amerika Serikat dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Patrick
A Langan dan Jodi M Brown
memberikan gambaran bahwa jumlah kasus pembunuhan (murder) meningkat dari tahun ke tahun, misalnya tahun 1988 (48
persen), tahun 1990 (55 persen), tahun 1992 (65 persen), dan tahun 1994 (65
persen).[3]
[1] Radio Nederland Wereldomroep
Indonesia (RNW). Sebagian data
diperoleh dari RNW Sabtu 3 Maret 2012
[2] Darrel Gilliard dan Allen Beck, Prison
and Jail at Midyear 1997 (Washington, DC: Bureau of Justice Statistic,
1999). dalam Larry Siegel, Kriminology (Belmont
CA: Wadsworth/Thomson Learning, halaman 594.
[3] Patrick A Langan dan Jodi M Brown, Felony Sentences in State Courts, 1994 (Washington DC: Bureau of
Justice Statistic, 1998), dalam Larry Siegel, Op.Cit, halaman 595.