HUKUM DAN KONFLIK
Tinjauan
Sosiologis Kriminologis dan Kasus di Indonesia
Chairil A Adjis
Dudi Akasyah
Ideally, law capable to contribute social order in human
life. Law have centre role as well in conflict mediating and solving. But the
situation to be different if the objectivity of law is contaminated by
subjective interest, where the law is not seen as contributor for social order,
but raises as conflict resistence. According to Marx, such resistence caused by
authority intervention. Ideal Law is independence law from authority intervention
and stand on public side. As the case sample for conflict and law writing,
author explores empirical realities in Indonesia.
Pengantar
Hukum memiliki peranan strategis bagi
terciptanya ketertiban sosial. Namun masalahnya adalah, apabila hukum tersebut
memiliki keberpihakan subjektif maka hukum bukannya memberi iklim kondusif bagi
tatanan sosial yang ada melainkan potensial untuk menimbulkan konflik yang
berlarut. Di sinilah pentingnya mencermati dan mengutamakan objektivitas hukum
sehingga mampu menciptakan ketertiban sosial dan mampu meredam konflik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada uraian di bawah ini penulis mencoba
menggambarkan konsekuensi hukum yang berpihak secara subyektif, dalam arti
hukum hanya berpihak pada sekelompok kecil, seperti kepentingan penguasa. Pada
kondisi di mana hukum berpihak pada sekelompok orang, maka peluang munculnya
konflik akan terbuka dan hukum menjadi kontra-produktif dari tujuannya semula
sebagai sarana bagi terciptanya ketertiban sosial.
Konflik Sosial
Uraian mengenai konflik banyak ditemukan
dalam karya Marx. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemikiran utama Marx
salah satunya adalah determinisme ekonomi. Determinisme ini sangat terkait
dengan konflik. Ada
dua pihak dalam kategori Marx yang berseteru selamanya dan tidak pernah akan
berakhir. Yang pertama berasal dari kaum yang menguasai dan yang kedua berasal
dari kaum yang dikuasai. Dalam perspektif Marx, kelompok yang menguasai disebut
sebagai golongan borjuis sedangkan kelompok yang dikuasai adalah golongan
proletar. Kedua kubu ini, digambarkan oleh Marx sebagai dua kelompok yang
terus menerus diwarnai konflik.
Tetapi ada satu hal yang tidak dibahas
oleh Marx, yakni dia tidak melihat bahwa sebenarnya ada lembaga sosial yang
tidak bisa berfungsi karena konflik. Padahal lembaga sosial tersebut
dapat dipandang mampu untuk meredam konflik. Inilah yang dilupakan dalam
pemikiran Marx. Konsentrasi pemikiran Marx terpaku hanya pada pembahasan
mengenai kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai, tanpa mampu
membahas lebih jauh bahwa masih ada lembaga sosial lain yang mampu meredam
konflik di antara dua kubu yang bertikai.
Menurut Marx, setiap bentuk sosial
terdiri dari tingkatan-tingkatan (struktur) objektif dan pada akhirnya hanya
tinggal satu tingkat yang mempengaruhi dan mendominasi tingkat lain yang
disebut dengan faktor ekonomi (Ramly, 2000: 80). Berkenaan dengan hal itu, Marx
mempunyai pemikiran, bahwa masyarakat itu terbagi ke dalam dua struktur.
Struktur pertama, adalah infrastruktur (lapisan bawah). Struktur
kedua, adalah superstruktur (lapisan atas). Infrastruktur adalah
ekonomi itu sendiri, yang merupakan motor kehidupan masyarakat atau inti yang
menentukan kehidupan masyarakat. Sedangkan superstruktur bersifat gagasan
seperti politik, hukum, atau ilmu pengetahuan. Superstruktur merupakan
kristalisasi atau pencerminan dari infrastruktur.
Determinisme Ekonomi
Jika ekonomi dipandang sebagai infrastruktur,
maka ekonomi menjadi hal yang paling fundamental bagi kehidupan manusia.
Ekonomi menjadi segalanya bagi manusia. Faktor ekonomi-lah yang nantinya akan
mempengaruhi segala bentuk kehidupan sosial. Termasuk di dalamnya adalah superstruktur,
seperti hukum, ideologi, agama, politik, atau budaya. Dengan demikian, jika
infrastrukturnya hancur, maka superstrukturnya pun akan ikut runtuh.
Inilah yang ditekankan Marx yang disebut
dengan determinisme ekonomi. Menurut dia faktor satu-satunya yang mempengaruhi
kehidupan ini adalah ekonomi. Sedangkan yang lainnya termasuk hukum, merupakan
superstruktur yang bisa saja dipengaruhi oleh infrastruktur. Meski demikian,
menurut Marx, tidak semuanya hukum itu dipengaruhi oleh ekonomi. Contohnya
adalah Hukum Waris, yang menurutnya hukum waris ini mempunyai fungsi
sebagai pemberdayaan sosial.
Hukum dan Konflik
Diakui bahwa teori Marx ini dianggap
sebagai teori yang radikal dan kritis. Untuk beberapa hal banyak mengandung
nilai politis, namun disadari pula bahwa teori Marx ini seringkali menjadi
sumber dalam beberapa studi kasus dan analisa sejarah. Teori Marx ini didesain
untuk mengekspos sifat jahat masyarakat kapitalis. Bonger (1916) seorang
kriminolog mengakui bahwa, penyimpangan lebih banyak terjadi dalam masyarakat
yang menganut sistem ekonomi kapitalis, kecenderungannya lebih tinggi daripada
masyarakat sosialis. Yang mendorong masyarakat kapitalis sering terlibat
konflik, karena di sana ada motif meraih keuntungan. Di samping itu
masyarakat kapitalis mempunyai sifat demoralisasi, yakni tidak memiliki
perasaan moral dan simpati terhadap orang lain. Oleh sebab itulah variabel yang
senantiasa ikut serta dalam faham kapitalisme adalah persaingan dan kerugian.
Jika mereka (kapitalis) ingin berkompetisi memperoleh keuntungan di bidang
ekonomi, mereka harus mampu menekan rasa simpati mereka terhadap para
pesaingnya. Hasilnya menurut Bonger, tanpa bisa dihindari akan banyak orang
yang mengalami kesulitan. Dari sana lahirlah perilaku egois dari
masyarakat yang tertekan, untuk
menjalani perjuangan mencapai kebahagiaan hidup.
Ciri Mendasar Konflik Menurut Marx
Ada dua ciri mendasar mengenai konflik
menurut Marx, yakni:
1.
Adanya Struktur
Masyarakat yang Mempengaruhi dan yang Dipengaruhi
Kondisi
sosial yang saling mempengaruhi dapat menimbulkan konflik. Sebab pada intinya,
hampir semua orang berkeinginan untuk menguasai antara satu dengan yang
lainnya. Kondisi demikian dapat menentukan, siapa yang kuat maka dia akan
menguasai orang. Siapa yang mempunyai alat produksi maka dia bisa menguasai
pihak lain. Kondisi demikian, kurang menguntungkan pihak proletariat sebagai
pihak yang dipengaruhi sehingga memicu terjadinya “perjuangan kelas”.
2.
Adanya pola hubungan
Pola
hubungannya, adalah pihak yang mempengaruhi (borjuis) adalah determinan untuk menguasai
pihak yang dipengaruhi (proletar). Selama ada yang berkuasa dengan
yang dikuasai, selama itu konflik akan terjadi. Menurut Marx seperti
yang telah disebutkan di atas, bahwa konflik itu akan terjadi selamanya.
Konflik terjadi disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.
Jadi siapa yang mempengaruhi dialah yang menguasai, dan siapa yang
dipengaruhi, maka dia akan dikuasai.
Yang diusulkan Marx dalam menyikapi
hal-hal seperti ini adalah, harus dibuat hukum yang mengatur agar kondisi menguasai
dan dikuasai dirubah menjadi menjadi kondisi “kesamaan”, yakni
sama rata dan sama derajat. Sebab jika tidak, maka konflik akan
terjadi selamanya. Kondisi sosial senantiasa akan diwarnai ketimpangan dan
diskriminasi sebagai konsekuensi antara yang dikuasai dan yang menguasai.
Pelaksanaan dari hukum seperti
itu—yakni adanya kesamaan antara satu sama lainnya—dengan sendirinya tidak akan
ada lagi alat-alat produksi yang dipegang dan dimiliki oleh pihak yang
menguasai, seperti halnya kaum borjuis. Umpamanya bidang ekonomi, itu tidak
boleh dikuasai oleh salah seorang, tetapi harus dipegang oleh negara.
Oleh negara kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan
demikian masyarakat dapat menikmati dan memiliki. Contoh
lainnya seperti hutan, hutan harus dikuasai oleh negara yang hasilnya
dapat dinikmati oleh rakyat banyak oleh masyarakat umum.
Pelaksanaan dari hukum ini agar tidak
menindas menurut Marx adalah: pemilikan tanah harus bersifat komunal.
Meski demikian penggarapan tanah dilakukan sendiri-sendiri, dan tanah
yang digarapnya adalah tanah milik komunal. Intinya, kepemilikan adalah milik
bersama. Penggarapannya dilakukan terbagi-bagi. Dengan demikian,
semuanya bisa merasakan kebersamaan hak dan derajat (Peters, 1988: 164).
Untuk memperbaiki realitas seperti
ini—menurut Marx—golongan proletariat harus mengadakan pressure, dalam
istilah Marx disebut sebagai Revolusi Proletariat. Revolusi ini
mempunyai tujuan membentuk masyarakat sosialis. Dengan revolusi, nasib pihak
yang dikuasai (proletariat) tidak lagi dieksploitasi untuk
memproduksi barang-barang produksi dengan gaji yang tidak seimbang.
Tereksploitasinya proletar merupakan akar masalah sehingga konflik kemudian
sering terjadi.
Masyarakat sosialis dipahami Marx,
sebagai masyarakat yang mengakui bahwa sistem kepemilikan produksi disandarkan
pada hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan
jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan
diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan
sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat
produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi.
Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia dalam mencapai
harkatnya tanpa penindasan. Dengan kata lain, sosialis merupakan sebuah sistem
yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.
Inilah
sebetulnya idealisme Marx. Ia menginginkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Marx
mempunyai visi khayalan tentang masyarakat kelas, dimana orang-orang mampu
bertindak kooperatif untuk barang-barang yang sifatnya umum. Marx percaya bahwa
tujuan tersebut dapat tercapai melalui sentralisasi kekuatan politik di tangan
negara.
Proposisi Marx Tentang
Proses Konflik
Dalam
buku Conflict Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict
Theorizing. Disebutkan bahwa, terdapat beberapa proposisi berkaitan dengan
proses konflik menurut Marx. Masing-masing proposisi yang diajukan berbunyi
sebagai berikut:
I. Semakin tidak seimbang
distribusi sumber daya, maka akan semakin besar konflik yang terjadi antara
kelas atas (borjuis) dengan kelas bawah (proletar). (“The more
unequal is the distribution of scarce resources in a society, the greater is
the basic of interest between its dominant and subordinate segments”)
Pada proposisi ini Marx
berargumentasi bahwa, ketidak-seimbangan dalam distribusi sumber daya, akan
memunculkan “konflik kepentingan”.
II. Semakin kelas bawah
menyadari bahwa, mereka harus mementingkan kebutuhan mereka yang sesungguhnya,
maka akan semakin sering mereka mempertanyakan legitimasi sumber daya yang
dimiliki kalangan atas (“The more subordinate segments became aware of their
true collective interest, the more likely they are to question the legitimacy
of the existing pattern of distribution of scarce resources”)
Anggota kelas yang lebih
rendah menjadi sadar akan kepentingan mereka yang sesungguhnya, bahwa mereka
diperas, dieksploitasi dan dirugikan dalam keuntungan produksi. Kenyataan
demikian menumbuhkan tanda tanya diantara mereka mengenai produksi yang hanya
dikuasai kalangan atas.
III. Masyarakat kelas bawah
akan lebih sadar terhadap kepentingan mereka (“Subordinates are more likely
to become aware of their true collective interest”), ketika:
A. Perubahan yang dibuat oleh
pihak yang dominan (kelas atas), dianggap mengganggu kepentingan kelas bawah (Changes
wrought by dominant segments disrupt existing relations emong subordinates).
B. Praktik-praktik kelas atas
menciptakan keterasingan pada masyarakat kelas bawah (“Practice of
dominant segments create alienatif dispositions”).
C. Setiap individu yang
berada di kelas bawah saling mengkomunikasikan kesengsaraan mereka pada
rekannya yang lain (“Members of subordinate segments can communicate their
grievances to one another which), yang difasilitasi oleh:
1.
Konsentrasi ekologi di antara kelompok kelas bawah (“The
ecological contrentation among members of subordinate groups”).
2.
Ekspansi kesempatan pendidikan untuk anggota kelompok bawah (“The
expansion of educational opportunities for members of subordinate groups”).
D. Segmen kelas bawah dapat
mengembangkan ideologi pemersatu (“Subordinate segments can develop unifying
ideologis) yang difasilitasi oleh:
1.
Kapasitas untuk merekrut juru bicara ideologi (“The
capacity to recruit or generate ideological spokespeople”).
2.
Ketidak-mampuan kelompok dominan untuk meregulasi
proses-proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di antara anggota kelas bawah
(“The inability of dominant groups to regulate socialization process and
communication networks among subordinates”).
Pada proposisi ketiga,
secara berturut-turut berisikan kekacauan yang terjadi pada saat kelas bawah
menyusun kekuatan ideologi secara internal.
IV. Semakin sering kelas bawah
menyadari kepentingan mereka dan mempertanyakan legitimasi distribusi
sumber daya, maka akan semakin sering mereka terlibat dalam konflik untuk
melawan kelas atas (Terjemah bebas dari,The more that subordinate
segments of a system become aware of their collective interests and question
the legitimacy of the distribution of scarce resources, the more likely they
are to join in overt conflict against dominant segments of a system),
khususnya ketika:
A. Kelompok dominan tidak
mampu mengartikulasikan kepentingan mereka dengan rasional (Terjemah
bebas dari, Dominant group cannot clearly articulate, not act in, their
collective interests).
B. Menurunnya aturan absolut
yang mengungkung kelas bawah, digantikan oleh aturan relatif yang bergerak
secara cepat (Terjemah bebas dari,Deprivations of subordinate move
from an absolute to a relative basis, or escalate rapidly).
C. Kelompok bawah mampu
membentuk struktur kepemimpinan politik (Subordinate groups can develop a
political leadership structure).
Intensitas perlawanan
kelas akan tumbuh ketika kelas bawah menyadari “kepentingan” mereka dan
“mempertanyakan” keabsahan surplus produksi yang mana mereka berperan besar di
dalamnya.
V.
Makin kuat pemersatu ideologi dan berkembangnya struktur
kepemimpinan kelas bawah, maka semakin besar kepentingan kelas dominan dalam
masyarakat, yang terpolarisasi (The greater is the ideological unification
of members of subordinate segments of a system and the more developed is their
political leadership structure, the more likely are the interests and relations
between dominant and subjugated segments of society to become polarized and
irreconcilable).
Marx dalam proposisi
kelima menekankan bahwa sekali saja kelompok yang ditindas memiliki ideologi
pemersatu dan pemimpin politik, maka kepentingan mereka dengan sendirinya akan
fokus. Perlawanan terhadap kelas atas mulai meningkat. Ketika polarisasi
meningkat, maka kemungkinan akan adanya proses rekonsiliasi, kompromi atau konflik
akan menurun.
VI.
Makin besar polarisasi, makin besar konflik yang menjadi
kekerasan (The more polarized are the dominant and subjugated, the more will
the conflict be violent).
Proposisi keenam
menggaris-bawahi bahwa, masyarakat kelas bawah mulai melakukan konfrontasi
ketika kekerasan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Artinya Marx
mencatat bahwa, konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola
organisasi sosial. Khususnya dalam distribusi sumber yang jarang diperoleh
masyarakat kelas bawah.
VII.
Makin keras konflik, makin besar perubahan di dalam
masyarakat, dan makin besar pula distribusi kembali pada sumber daya (The
more violent is the conflict, the greater is the mount of the structural
change within a society and the greater is the redistribution of scarce
resources).
Akhirnya, Marx menetapkan
bahwa konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi
sosial, khususnya di dalam “distribusi sumber daya” yang jarang diperoleh
masyarakat kelas bawah.
Pandangan Marx terhadap
Hukum
Ada
tiga komponen yang menjadi bahan kajian Marx pada waktu itu. Ketiganya adalah proletariat,
borjuis, dan state (negara). Yang membuat hukum adalah state.
Idealnya hukum itu berfungsi untuk mengakomodir kepentingan rakyat. Tetapi
kenyataannya—praksisnya—justru yang mempengaruhi state waktu itu adalah kaum
borjuis, yaitu kaum yang memiliki alat produksi. Sehingga produk hukum yang
dikeluarkan oleh negara waktu itu, lebih cenderung memihak kaum borjuis, tidak
memihak pada rakyat. Inginnya Marx, negara mampu membuat hukum yang mampu
mensejahterakan rakyatnya.
Marx
menginginkan hukum itu bisa memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan
manusia. Karena dengan hukum, akan terjadi suatu ketertiban sosial. Artinya
hukum dapat mengatur hubungan antara kaum borjuis dengan proletariat.
Masyarakat pada umumnya, akan bisa berubah menjadi lebih baik jika hukum
bisa menengahi atau menyelesaikan konflik waktu itu. Ketika konflik gencar
terjadi waktu itu, harusnya yang menjadi media penyelesaiannya adalah hukum. Di
samping itu, hukum dapat dianggap sebagai alat pemberdayaan. Pemberdayaan di
sini merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak yang pada
berbagai kondisi sering tertindas. Dengan demikian hukum harus berpihak pada
proletariat agar mereka bisa mengalami perbaikan hidup.
Hukum
yang ideal menurut Marx adalah yang tidak terintervensi oleh golongan kaum
borjuis atau pihak yang berkuasa. Hanya saja masalahnya adalah, hukum
sangat bergantung pada pihak yang membuatnya. Jika hukum dibuat oleh pihak yang
berkuasa, maka hukum cenderung akan lebih memihak pihak yang berkuasa pada saat
itu. Kita semua tahu bahwa pada waktu Marx hidup, yang menjadi penguasa di
Jerman saat itu adalah mereka yang menerima banyak sokongan dana dari kaum
borjuis, sehingga negara sebagai pembuat hukum pun, akhirnya lebih memihak kaum
bourjuis daripada kaum proletar yang sebenarnya sangat tertindas waktu
itu.
Pembuat
kebijakan hukum yang terkontaminasi oleh kaum borjuis, maka produk hukumnya pun
akan memproteksi atau menyokong kepentingan kaum borjuis. Demikian
demikian, hukum sangat bergantung pada siapa yang membuat kebijakan. Untuk
merubah kondisi hukum seperti ini. Marx mempunyai cara untuk menanggulanginya,
yaitu melalui gerakan revolusi. Inilah tawaran satu-satunya Marx, yang
kemudian dinamakan dengan revolusi proletariat.
Idealnya
hukum mewakili keterwakilan dari setiap segi kepentingan khususnya kepentingan
rakyat. Menurut Lefcourt adalah terwakili secara demokrasi. Ia
melihat bahwa sepatutnya hukum itu merupakan proses take and give. Semua
kelompok mempunyai daya tawar dan kesempatan yang sama, bisa saling kompromi,
tawar menawar atau bahkan bisa saling menekan dan saling mengontrol. Di pihak
lain, pejabat publik dan pembuat hukum mampu merespon tekanan yang muncul dari
kelompok tersebut, dengan demikian kelak, tidak akan ada lagi kelompok dalam
bidang ekonomi, yang akan mendominasi. Masyarakat menjadi bagian dari proses
pengambilan keputusan yang segera akan mereka lakukan, seperti: pegawai akan
memeriksa bisnis mereka, petani akan melihat urbanisasi dan siswa akan
memeriksa petugas administrasi.
…..They (American social scientists) depict a society
in which widely varied groups compete with each other, in which decision-makin
rests on give-and take among various groups. Groups compromise, make deals, and
preassure each other; public officials nad law-makers respond to these various
group pressures so that no
one……economy…….group will dominate. This creates the “natural” system of checks
and balances which maintains a democracy. People become part of the
decision-making process as soon as they organize: as big labor checks big
business,……….., farmers check urbinities, students chek school administrators (Lefcourt, 1966: 32).
Kenyataan
dimana negara seringkali dipengaruhi oleh kalangan pemegang modal, sebetulnya
terjadi juga pada negara kita sekarang. Pembuat kebijakan hukum dalam hal ini
adalah negara, seringkali terkontaminasi atau terintervensi oleh orang-orang
yang mempunyai dana besar (pengusaha, konglomerat atau investor). Sebagai
akibatnya, produk hukum yang seharusnya berpihak pada orang banyak,
disalahgunakan menjadi hukum yang berpihak pada segelintir orang yang memiliki
kepentingan pribadi. Contoh konkrit, pengusaha, orang-orang kaya, atau
konglomerat yang korup, seringkali tidak diproses lebih lanjut di pengadilan.
Apa sebabnya, pengadilan telah diintervensi oleh pihak yang mempunyai modal dan
kekuasaan. Hukum pun menjadi sangat tergantung pada siapa yang berkuasa.
Hukum untuk Kaum Borjuis
Hans
Kelsen dalam
tulisannya berjudul Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, menyebutkan
bahwa Marx memandang negara dan hukum sebagai mesin yang sifatnya memaksa, yang
mana dengan kehadirannya, eksploitasi yang dilakukan oleh satu kelompok
terhadap kelompok lainnya terus berlangsung. Instrumen yang digunakan kelas
dominan (kelas atas, borjuis) untuk melakukan eksploitasi adalah, negara dan
hukum. Secara politis sebenarnya penguasa (negara) merupakan bagian dari
kelompok dominan, hal ini dinyatakan:
The state together with its law is the coercive
machinery for the maintenance of exploitation of one class by the other, an
instrument of the class of exploiters which, through the state and its law,
becomes the politically dominant class (Kelsen, 1955:1).
Sebetulnya dalam pandangan
Marx, negara (state) merupakan suatu kekuatan mapan yang dapat menjaga
konflik antar antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Agar bisa menjaga
keharmonisan, diperlukan sebuah “aturan yang mengikat” yang kemudian
aturan itu dinamakan hukum. Hans Kelsen juga berpendapat bahwa hukum
mempunyai hubungan erat dengan negara. Ia menyebut negara sebagai tempat di
mana kelas borjuis, di samping mampu mengatur ekonomi, juga mampu mengatur
politik agar posisinya sebagai pemegang produksi dapat dipertahankan dengan
cara ,melakukan eksploitasi terhadap kelas proletar. Artinya kelas borjuis
mampu memposisikan diri seorang politis, di samping sebagai kaum kapitalis. Di
sini Engels mengatakan:
Needs the state, that means an organisation of the
exploiting class for maintaining the external conditions of its production,
especially for holding down by force the exploited class. The dominance of one
class over the other, which is the essence of the state, is identical with the
eksploitation of one class by the other, the dominant class being essentially
the eksploiting class (Kelsen, 1955:1). Terjemahan bebas: Merupakan kebutuhan negara, bahwa
suatu organisasi dari kelas yang melakukan eksploitasi; untuk menjaga kondisi
eksternal produksi, terutama dalam upaya mereka untuk bertahan dengan cara
pemaksaan terhadap kelas yang tereksploitasi. Dominasi suatu kelas terhadap
kelas lainnya dalam urusan negara, identik dengan eksploitasi suatu kelas
terhadap kelas lainnya, di mana kelas dominan akan menjadi kelas yang
mengeksploitasi.
Lebih
lanjut Marx mengatakan bahwa negara dan hukum saling berhubungan. Marx
mengasumsikan negara dan hukum sebagai:
The law as coercive order and specific instrument of
the state exists only in a society divided into two classes, a dominant
exploiting and a dominated exploited class (Kelsen, 1955:34). Terjemahan bebas: Hukum merupakan
aturan keras. Ia merupakan instrumen negara. Instrumen ini hanya dapat eksis
dalam masyarakat yang terbagi dalam dua kelas: yaitu kelas yang mendominasi dengan
kelas yang didominasi.
Mengamati uraian di atas,
tidak mengherankan jika pengadilan kriminal yang merupakan operasionalisasi
dari hukum, berlaku tidak seimbang dan hanya mementingkan golongan-golongan
tertentu. Tentang hal ini, Robert Lefcourt menyatakan bahwa pengadilan
kriminal telah menciptakan pola hukum selektif yang tidak seimbang yang mana kelas
atas dan warga kulit putih adalah mereka yang selalu mendapat
keuntungan. Lebih tegas Lefcourt menyebutkan bahwa sebelum
kalangan atas akan diadili. Pada saat pra pengadilan, tuntutan hukum
diselesaikannya melalui dua cara: yaitu uang jaminan dan pernyataan
bersalah. Secara terang-terangan teknik ini dilakukan melalui kerjasama
antara pejabat hukum seperti hakim, jaksa dan pembela. Di Washington
D.C., 90% orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang memiliki
pendapatan kurang dari 5.000 dollar. Warga kulit hitam mempunyai tingkat
yang lebih tinggi dibandingkan warga kulit putih yang menjadi terdakwa
(Lefcourt, 1966: 21-22).
Sebuah
penelitian yang dilakukan pada sebuah negara di Barat menunjukan bahwa
di antara pihak-pihak pelaksana hukum yang saling bertentangan (seperti jaksa
dan pembela), sebelumnya telah menjalin kerjasama untuk
menyelamatkan tertuduh.
That the experiment could take place at all
demonstrates the overt cooperation between supposedly opposing forces
(Lefcourt, 1966:29).
Itulah yang terjadi ketika
yang menjadi tertuduh adalah orang kaya raya. Survey yang dilakukan di New
York menunjukan bahwa, warga miskin dan warga bukan kulit putih secara
proporsional memiliki tingkat penangkapan yang tinggi dari seluruh populasi.
Mereka juga akan lebih lama dipenjara setelah ditangkap. Jika penjahat tidak
mengeluarkan sejumlah uang pada hakim, maka ia akan tetap berada di penjara.
Suatu studi yang membahas praktik-praktik uang jaminan menemukan bahwa sebanyak
25 persen dari seluruh penjahat yang berada di penjara adalah mereka yang gagal
memberikan uang jaminan sebanyak 500 dollar. 45 persen adalah narapidana yang
tidak mampu membayar 1.500 dolar, sisanya sebanyak 63 persen adalah mereka yang
tidak mampu membayar 2.500 dollar. Keterangan ini disebutkan Lefcourt sebagai
berikut:
The poor and nonwhite, arrested at a
proportionally higher than the rest of the population, are more likely to be
jailed after arrest because of the court practice of imposing monetary bail. If
the defendant cannot post the amount set by a judge or give a bail bondsman
security to post it for him, he ramains in jail. One study of New York bail
practice indicates the extent to which the courts tend to incarcerate the
innocent prior trial: Twenty-five percent of all defendants in this study
failed to make bail at 500 dollars, forty-five percent failed at 1.500 percent,
and sixty-three percent at 2.500 dollars (Lefcourt, 1966:26).
Menurut Turk dalam
buku Sociology of Law:
The availability of legal resources is in
self an impetus to social conflict, because conflicting or potentially
complicting parties cannot risk the possible costs of noit having the law—or at
least some law—on their side (Turk, 1950: 111). Terjemahan bebas: tersedianya sumber-sumber hukum itu
sendiri dapat mendorong terjadinya konflik sosial. Karena itu orang-orang yang
potensial konflik, tidak akan beresiko mengeluarkan biaya, jika hukum tidak
berada di tangan mereka.
Keneddy
secara
terang-terangan mengatakan bahwa sistem peradilan sekarang tak ubahnya seperti rumah
bordil. Hal ini dikemukakan dalam teorinya yang berjudul The Whorehouse
Theory of Law (Keneddy, 1970: 82-89). Ia mengatakan bahwa masyarakat
(orang kaya) diumpamakannya sebagai pelacur, sedangkan profesi hukumnya
diumpamakan rumah bordir. Siswa hukum, tidak hanya diajari bagaimana dia
menempatkan sisi hukum pada sisi
kemanusiaan, namun juga
diajari bagaimana ia
berfikir tentang uang, kekuatan dan hukum. Di pihak lain,
klien pun, sebagai pelacur, ingin mendapat pelayanan terbaik dari rumah bordir,
tentunya dengan iming-iming uang banyak.
Fakta Sosial Hukum di
Indonesia
Lembaga yang Membuat
Kembali
pada teorinya Marx berkaitan dengan siapa yang membuat hukum. Marx menyebutkan
produk hukum dibuat oleh negara. Di Indonesia, lembaga yang mempunyai
kewenangan sebagai pembuat hukum adalah DPR (state). Ideal tidaknya hukum, sangat bergantung pada
komitmen DPR itu sendiri. Kalau DPR dipengaruhi oleh pihak yang mempunyai alat
produksi (konglomerat atau pemilik modal), produk hukum yang dihasilkan
cenderung akan mengikuti keinginan pihak yang memiliki modal. Agar DPR mampu
membuat hukum yang mengakomodir kepentingan orang banyak, maka mereka (DPR)
tidak boleh terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal.
DPR harus fair dalam membuat kebijakan hukum. Tentunya, mereka harus
lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan-kepentingan
sepihak.
Lembaga Pelaksana Hukum
Lembaga
yang berwenang sebagai pelaksana hukum di Indonesia adalah Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System). Sistem ini terdiri dari lima komponen,
yakni kepolisian, jaksa, hakim, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Sistem
Peradilan Pidana inilah yang kemudian memiliki tugas sebagai pelaksana hukum
yang dibuat oleh negara.
Fakta Sosial
Kalau
DPR sebagai pembuat hukum masih bisa dipengaruhi oleh kaum pengusaha, maka
produk hukum yang mereka keluarkan akan negatif bagi masyarakat. Produk hukum
yang mereka buat lebih mendukung pihak yang menguasai alat produksi. Kalau yang
mempunyai saham itu kemudian menyodok atau KKN terhadap negara, maka produk
hukum pun akan lebih mendorong kepentinganpemegang saham. Di pihak lain, UMR
menjadi rendah, gaji buruh memperihatinkan, tempat kerja tidak layak, dan
pemerintah tetap mengeksklusikan (tidak memberi perhatian) kaum buruh.
Realitas
kondisi money politik, korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda
Indonesia, sehingga negara ini merupakan salah satu negara terkorup di dunia,
menunjukan bukti bahwa ternyata state (dalam hal ini DPR) masih memiliki
kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan sepihak (orang yang berkuasa
dan pemilik modal) daripada memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Dengan
demikian hukumnya pun menjadi lebih subyektif bahkan makin memperkokoh orang berpengaruh
untuk menguasai pihak yang dipengaruhi.
Jika
ingin mengubah tatanan hukum yang ada, maka harus ada pressure dari
rakyat terhadap DPR sebagai pembuat hukum. DPR dituntut agar bisa memposisikan
diri sebagai pihak yang netral. Kalau perlu harus ada revolusi hukum
besar-besaran terhadap DPR agar kesempatan mereka untuk melakukan KKN dapat
diminimalisir. Lefcourt menyatakan legalitas hukum tidak hanya
bergantung pada siapa yang berkuasa, namun juga tergantung pada intensitas
perjuangan yang dilakukan oleh rakyat, yang mana hal demikian dapat
mentransformasi hubungan hukum dengan rakyat:
Legality depends not only on who is
powerful but also on the intensity of struggle by the people, which can
transform legal relationship (Lefcourt, 1966: 34).
DAPTAR
PUSTAKA
Kelsen, Hans
1955
The Communist
Theory of Law, In Conflict Theory, The Marx –
Engels Theory of Law, New York: Frederick A. Praeger, Inc.
Keneddy,
Floryence
1970
The Whorehouse
Theory of Law, In Sociology of Law, London:
Rotledge.
Peters, A.A.G.,
dan Koesriani, Siswosoebroto
1988
Hukum dan
Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku
I, Jakarta: Sinar Harapan.
Ramly, Andi Mu’awiyah
2000
Karl Marx,
Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta:
LkiS, Cetakan I.
Tittle, Charles R and Paternostes,
Raymond
2000 Marxian Conflict Theory, in
Social Deviance An Organizational and Theoretical Approaches, California:
Roxbury Publishing Company.
Turk,
1970
Law as weapon
in Social Conflict, In Sociology
of Law, London: Rouledge.
Turner, Jonathan H.
1998
The Rise of
Conflict Theorizing, Sixth
Edition, Belmont CA.: Wadsworth Publishing Company.
Turner, Jonathan
H.; Beeghley, Leonard; Power, Charles H.
1995
Marx Model of
Stratification and Class Conflict, in
The Emergency of Sociological Theory, Belmont CA.: Wadsworth Publishing
Company.
Sekilas Penulis
Mahasiswa
S3 Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana UI. Magister Sains
Kriminologi Fisip UI. Praktisi Hukum di Jakarta. Menjadi anggota di berbagai
asosiasi advokat di dalam dan luar negeri.
Alamat
Kantor:
CHAIRIL
ADJIS & PATNERS
Law Firm
Jl.
Boulevard Bukit Gading Raya Blok A2 No. 8 Jakarta 14240-INDONESIA
Telp.(021)
450 9282 Fax. 450 9283
E-mail:
caplawfirm@hotmail.com
ABSTRAK
Ideally, law capable to contribute social order in human
life. Law have centre role as well in conflict mediating and solving. But the
situation to be different if the objectivity of law is contaminated by
subjective interest, where the law is not seen as contributor for social order,
but raises as conflict resistence. According to Marx, such resistence caused by
authority intervention. Ideal Law is independence law from authority
intervention and stand on public side. As the case sample for conflict and law
writing, author explores empirical realities in Indonesia.
HUKUM DAN KONFLIK
Tinjauan
Sosiologis Kriminologis dan Kasus di Indonesia
Oleh: Chairil A Adjis, SH., M.Si.
Pengantar
Uraian mengenai konflik banyak ditemukan
dalam karya Marx. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemikiran utama Marx
salah satunya adalah determinisme ekonomi. Determinisme ini sangat terkait
dengan konflik. Ada dua pihak dalam kategori Marx yang berseteru selamanya dan
tidak pernah akan berakhir. Yang pertama berasal dari kaum yang menguasai dan
yang kedua berasal dari kaum yang dikuasai. Dalam perspektif Marx, kelompok
yang menguasai disebut sebagai golongan borjuis sedangkan kelompok yang
dikuasai adalah golongan proletar. Kedua kubu ini, digambarkan oleh Marx
sebagai dua kelompok yang terus menerus diwarnai konflik.
Tetapi ada satu hal yang tidak dibahas
oleh Marx, yakni dia tidak melihat bahwa sebenarnya ada lembaga sosial yang
tidak bisa berfungsi karena konflik. Padahal lembaga sosial tersebut
dapat dipandang mampu untuk meredam konflik. Inilah yang dilupakan dalam
pemikiran Marx. Konsentrasi pemikiran Marx terpaku hanya pada pembahasan
mengenai kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai, tanpa mampu
membahas lebih jauh bahwa masih ada lembaga sosial lain yang mampu meredam
konflik di antara dua kubu yang bertikai.
Menurut Marx, setiap bentuk sosial
terdiri dari tingkatan-tingkatan (struktur) objektif dan pada akhirnya hanya
tinggal satu tingkat yang mempengaruhi dan mendominasi tingkat lain yang
disebut dengan faktor ekonomi[1].
Berkenaan dengan hal itu, Marx mempunyai pemikiran, bahwa masyarakat itu
terbagi ke dalam dua struktur. Struktur pertama, adalah infrastruktur (lapisan
bawah). Struktur kedua, adalah superstruktur (lapisan atas). Infrastruktur
adalah ekonomi itu sendiri, yang merupakan motor kehidupan masyarakat atau inti
yang menentukan kehidupan masyarakat. Sedangkan superstruktur bersifat gagasan
seperti politik, hukum, atau ilmu pengetahuan. Superstruktur merupakan
kristalisasi atau pencerminan dari infrastruktur.
Marx menulis dalam bukunya A
Contribution to The Critique of Political Economy:
It is not the consiousness of men
that determines their being, but, on the contrary, their social being that
determines their conciousness.[2]
Arti dari man’s conciousness diartikan
sebagai kesadaran manusia dalam bidang hukum, politik, filsafat, moral dan
agama serta bidang-bidang lain yang terdapat dalam kebudayaan manusia.
Sedangkan makna man’s social being diartikan sebagai faktor ekonomi.
Faktor ini kemudian didukung oleh dua unsur pokok yaitu kekuatan-kekuatan
produksi (forces of production) dan hubungan-hubungan produksi (relation
of production).
Analisis yang terkandung dalam
wawasan ini adalah, kehidupan sosial ekonomi (man social being) ditempatkan
sebagai perangkat yang mendasari setiap kiprah kesadaran manusia (man social
consciousness). Dengan lain kata, faktor materi selalu menjadi penentu,
sedang faktor kesadaran harus ditentukan oleh kondisi material yang tercipta.
Determinisme Ekonomi
Jika ekonomi dipandang sebagai infrastruktur,
maka ekonomi menjadi hal yang paling fundamental bagi kehidupan manusia.
Ekonomi menjadi segalanya bagi manusia. Faktor ekonomi-lah yang nantinya akan
mempengaruhi segala bentuk kehidupan sosial. Termasuk di dalamnya adalah superstruktur,
seperti hukum, ideologi, agama, politik, atau budaya. Dengan demikian, jika
infrastrukturnya hancur, maka superstrukturnya pun akan ikut runtuh.
Inilah yang ditekankan Marx yang disebut
dengan determinisme ekonomi. Menurut dia faktor satu-satunya yang mempengaruhi
kehidupan ini adalah ekonomi[3].
Sedangkan yang lainnya termasuk hukum, merupakan superstruktur yang bisa saja
dipengaruhi oleh infrastruktur. Meski demikian, menurut Marx, tidak semuanya
hukum itu dipengaruhi oleh ekonomi. Contohnya adalah Hukum Waris, yang
menurutnya hukum waris ini mempunyai fungsi sebagai pemberdayaan sosial.
Hukum dan Konflik
Diakui bahwa teori Marx ini dianggap
sebagai teori yang radikal dan kritis. Untuk beberapa hal banyak mengandung nilai
politis, namun disadari pula bahwa teori Marx ini seringkali menjadi sumber
dalam beberapa studi kasus dan analisa sejarah[4].
Teori Marx ini didesain untuk mengekspos sifat jahat masyarakat kapitalis[5].
Bonger (1916) seorang kriminolog mengakui bahwa, penyimpangan lebih banyak
terjadi dalam masyarakat yang menganut sistem ekonomi kapitalis,
kecenderungannya lebih tinggi daripada masyarakat sosialis. Yang mendorong
masyarakat kapitalis sering terlibat konflik, karena di sana ada motif meraih keuntungan.
Di samping itu masyarakat kapitalis mempunyai sifat demoralisasi, yakni
tidak memiliki perasaan moral dan simpati terhadap orang lain[6].
Oleh sebab itulah variabel yang senantiasa ikut serta dalam faham kapitalisme
adalah persaingan dan kerugian. Jika mereka (kapitalis) ingin
berkompetisi memperoleh keuntungan di bidang ekonomi, mereka harus mampu
menekan rasa simpati mereka terhadap para pesaingnya. Hasilnya menurut
Bonger, tanpa bisa dihindari akan banyak orang yang mengalami kesulitan. Dari
sana lahirlah perilaku egois dari masyarakat yang tertekan, untuk menjalani perjuangan mencapai kebahagiaan
hidup.
Ciri Mendasar Konflik Menurut Marx
Ada dua ciri mendasar mengenai konflik
menurut Marx, yakni:
3.
Adanya Struktur
Masyarakat yang Mempengaruhi dan yang Dipengaruhi
Kondisi
sosial yang saling mempengaruhi dapat menimbulkan konflik. Sebab pada intinya,
hampir semua orang berkeinginan untuk menguasai antara satu dengan yang lainnya[7]. Kondisi demikian dapat
menentukan, siapa yang kuat maka dia akan menguasai orang. Siapa yang mempunyai
alat produksi maka dia bisa menguasai pihak lain. Kondisi demikian, kurang
menguntungkan pihak proletariat sebagai pihak yang dipengaruhi sehingga memicu
terjadinya “perjuangan kelas”.
4.
Adanya pola hubungan
Pola
hubungannya, adalah pihak yang mempengaruhi (borjuis) adalah determinan untuk menguasai
pihak yang dipengaruhi (proletar). Selama ada yang berkuasa dengan
yang dikuasai, selama itu konflik akan terjadi. Menurut Marx seperti
yang telah disebutkan di atas, bahwa konflik itu akan terjadi selamanya.
Konflik terjadi disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi[8]. Jadi siapa yang
mempengaruhi dialah yang menguasai, dan siapa yang dipengaruhi, maka dia
akan dikuasai.
Yang diusulkan Marx dalam menyikapi
hal-hal seperti ini adalah, harus dibuat hukum yang mengatur agar kondisi menguasai
dan dikuasai dirubah menjadi menjadi kondisi “kesamaan”, yakni
sama rata dan sama derajat. Sebab jika tidak, maka konflik akan
terjadi selamanya. Kondisi sosial senantiasa akan diwarnai ketimpangan dan
diskriminasi sebagai konsekuensi antara yang dikuasai dan yang menguasai.
Pelaksanaan dari hukum seperti
itu—yakni adanya kesamaan antara satu sama lainnya—dengan sendirinya tidak akan
ada lagi alat-alat produksi yang dipegang dan dimiliki oleh pihak yang
menguasai, seperti halnya kaum borjuis. Umpamanya bidang ekonomi, itu tidak
boleh dikuasai oleh salah seorang, tetapi harus dipegang oleh negara.
Oleh negara kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan
demikian masyarakat dapat menikmati dan memiliki. Contoh
lainnya seperti hutan, hutan harus dikuasai oleh negara yang hasilnya
dapat dinikmati oleh rakyat banyak oleh masyarakat umum.
Pelaksanaan dari hukum ini agar tidak
menindas menurut Marx adalah: pemilikan tanah harus bersifat komunal.
Meski demikian penggarapan tanah dilakukan sendiri-sendiri, dan tanah
yang digarapnya adalah tanah milik komunal. Intinya, kepemilikan adalah milik
bersama. Penggarapannya dilakukan terbagi-bagi[9].
Dengan demikian, semuanya bisa merasakan kebersamaan hak dan derajat.
Untuk memperbaiki realitas seperti
ini—menurut Marx—golongan proletariat harus mengadakan pressure, dalam
istilah Marx disebut sebagai Revolusi Proletariat. Revolusi ini
mempunyai tujuan membentuk masyarakat sosialis. Dengan revolusi, nasib pihak
yang dikuasai (proletariat) tidak lagi dieksploitasi untuk
memproduksi barang-barang produksi dengan gaji yang tidak seimbang[10].
Tereksploitasinya proletar merupakan akar masalah sehingga konflik kemudian
sering terjadi.
Masyarakat sosialis dipahami Marx,
sebagai masyarakat yang mengakui bahwa sistem kepemilikan produksi disandarkan
pada hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan
jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan
diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan
sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat
produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi.
Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia dalam mencapai
harkatnya tanpa penindasan. Dengan kata lain, sosialis merupakan sebuah sistem
yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.
Inilah
sebetulnya idealisme Marx. Ia menginginkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Marx
mempunyai visi khayalan tentang masyarakat kelas, dimana orang-orang mampu
bertindak kooperatif untuk barang-barang yang sifatnya umum. Marx percaya bahwa
tujuan tersebut dapat tercapai melalui sentralisasi kekuatan politik di tangan
negara.
Marx had a uthopian vision of classless society within
which people acted cooperatively for the common goog and, in the process,
realized their human potential. Paradoxally, he believed that this goal could
be achieved through the centralization of political power in the hands of the
state[11].
Proposisi Marx Tentang
Proses Konflik
Dalam
buku Conflict Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict
Theorizing. Disebutkan bahwa, terdapat beberapa proposisi berkaitan dengan
proses konflik menurut Marx[12]. Masing-masing proposisi
yang diajukan berbunyi sebagai berikut:
VIII.
Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya, maka akan
semakin besar konflik yang terjadi antara kelas atas (borjuis) dengan
kelas bawah (proletar). (Terjemah bebas dari, “The more unequal is the
distribution of scarce resources in a society, the greater is the basic of
interest between its dominant and subordinate segments”)
Pada proposisi ini Marx
berargumentasi bahwa, ketidak-seimbangan dalam distribusi sumber daya, akan
memunculkan “konflik kepentingan”.
IX. Semakin kelas bawah
menyadari bahwa, mereka harus mementingkan kebutuhan mereka yang sesungguhnya,
maka akan semakin sering mereka mempertanyakan legitimasi sumber daya
yang dimiliki kalangan atas (Terjemah bebas dari, “The more subordinate
segments became aware of their true collective interest, the more likely they
are to question the legitimacy of the existing pattern of distribution of
scarce resources”)
Anggota kelas yang lebih
rendah menjadi sadar akan kepentingan mereka yang sesungguhnya, bahwa mereka
diperas, dieksploitasi dan dirugikan dalam keuntungan produksi. Kenyataan
demikian menumbuhkan tanda tanya diantara mereka mengenai produksi yang hanya
dikuasai kalangan atas.
X. Masyarakat kelas bawah
akan lebih sadar terhadap kepentingan mereka (“Subordinates are more likely to
become aware of their true collective interest”), ketika:
A. Perubahan yang dibuat oleh
pihak yang dominan (kelas atas), dianggap mengganggu kepentingan kelas bawah
(Terjemah dari “Changes wrought by dominant segments disrupt existing relations
emong subordinates”).
B. Praktik-praktik kelas atas
menciptakan keterasingan pada masyarakat kelas bawah (Terjemah dari
“Practice of dominant segments create alienatif dispositions”).
C. Setiap individu yang
berada di kelas bawah saling mengkomunikasikan kesengsaraan mereka pada
rekannya yang lain (Terjemah bebas dari, “Members of subordinate segments can
communicate their grievances to one another which, in turn, is facilitated
by”), yang difasilitasi oleh:
1.
Konsentrasi ekologi di antara kelompok kelas bawah (“The
ecological contrentation among members of subordinate groups”).
2.
Ekspansi kesempatan pendidikan untuk anggota kelompok bawah
(“The expansion of educational opportunities for members of subordinate
groups”).
D. Segmen kelas bawah dapat
mengembangkan ideologi pemersatu (“Subordinate segments can develop unifying
ideologis, which, in turn, is facilitated by”), yang difasilitasi oleh:
1.
Kapasitas untuk merekrut juru bicara ideologi (“The capacity
to recruit or generate ideological spokespeople”).
2.
Ketidak-mampuan kelompok dominan untuk meregulasi
proses-proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di antara anggota kelas bawah
(“The inability of dominant groups to regulate socialization process and
communication networks among subordinates”).
Pada proposisi ketiga, secara
berturut-turut berisikan kekacauan yang terjadi pada saat kelas bawah menyusun
kekuatan ideologi secara internal.
XI. Semakin sering kelas bawah
menyadari kepentingan mereka dan mempertanyakan legitimasi
distribusi sumber daya, maka akan semakin sering mereka terlibat dalam konflik
untuk melawan kelas atas (Terjemah bebas dari,The more that
subordinate segments of a system become aware of their collective interests and
question the legitimacy of the distribution of scarce resources, the more
likely they are to join in overt conflict against dominant segments of a
system), khususnya ketika:
A. Kelompok dominan tidak
mampu mengartikulasikan kepentingan mereka dengan rasional (Terjemah
bebas dari, Dominant group cannot clearly articulate, not act in, their
collective interests).
B. Menurunnya aturan absolut
yang mengungkung kelas bawah, digantikan oleh aturan relatif yang bergerak
secara cepat (Terjemah bebas dari,Deprivations of subordinate move
from an absolute to a relative basis, or escalate rapidly).
C. Kelompok bawah mampu
membentuk struktur kepemimpinan politik (Subordinate groups can develop a
political leadership structure).
Intensitas perlawanan
kelas akan tumbuh ketika kelas bawah menyadari “kepentingan” mereka dan
“mempertanyakan” keabsahan surplus produksi yang mana mereka berperan besar di
dalamnya.
XII.
Makin kuat pemersatu ideologi dan berkembangnya struktur
kepemimpinan kelas bawah, maka semakin besar kepentingan kelas dominan dalam
masyarakat, yang terpolarisasi (The greater is the ideological unification of
members of subordinate segments of a system and the more developed is their
political leadership structure, the more likely are the interests and relations
between dominant and subjugated segments of society to become polarized and
irreconcilable).
Marx dalam proposisi
kelima menekankan bahwa sekali saja kelompok yang ditindas memiliki ideologi
pemersatu dan pemimpin politik, maka kepentingan mereka dengan sendirinya akan
fokus. Perlawanan terhadap kelas atas mulai meningkat. Ketika polarisasi
meningkat, maka kemungkinan akan adanya proses rekonsiliasi, kompromi atau
konflik akan menurun.
XIII.
Makin besar polarisasi, makin besar konflik yang menjadi
kekerasan (The more polarized are the dominant and subjugated, the more will
the conflict be violent).
Proposisi keenam
menggaris-bawahi bahwa, masyarakat kelas bawah mulai melakukan konfrontasi
ketika kekerasan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Artinya Marx
mencatat bahwa, konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola
organisasi sosial. Khususnya dalam distribusi sumber yang jarang diperoleh
masyarakat kelas bawah.
XIV.
Makin keras konflik, makin besar perubahan di dalam
masyarakat, dan makin besar pula distribusi kembali pada sumber daya (The
more violent is the conflict, the greater is the mount of the structural
change within a society and the greater is the redistribution of scarce
resources).
Akhirnya, Marx menetapkan
bahwa konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi
sosial, khususnya di dalam “distribusi sumber daya” yang jarang diperoleh
masyarakat kelas bawah.
Pandangan Marx terhadap
Hukum
Ada
tiga komponen yang menjadi bahan kajian Marx pada waktu itu. Ketiganya adalah proletariat,
borjuis, dan state (negara). Yang membuat hukum adalah state.
Idealnya hukum itu berfungsi untuk mengakomodir kepentingan rakyat. Tetapi
kenyataannya—praksisnya—justru yang mempengaruhi state waktu itu adalah kaum
borjuis, yaitu kaum yang memiliki alat produksi. Sehingga produk hukum yang
dikeluarkan oleh negara waktu itu, lebih cenderung memihak kaum borjuis, tidak
memihak pada rakyat. Inginnya Marx, negara mampu membuat hukum yang mampu
mensejahterakan rakyatnya.
Marx
menginginkan hukum itu bisa memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan
manusia. Karena dengan hukum, akan terjadi suatu ketertiban sosial. Artinya
hukum dapat mengatur hubungan antara kaum borjuis dengan proletariat.
Masyarakat pada umumnya, akan bisa berubah menjadi lebih baik jika hukum
bisa menengahi atau menyelesaikan konflik waktu itu. Ketika konflik gencar
terjadi waktu itu, harusnya yang menjadi media penyelesaiannya adalah hukum. Di
samping itu, hukum dapat dianggap sebagai alat pemberdayaan. Pemberdayaan di
sini merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak yang pada
berbagai kondisi sering tertindas. Dengan demikian hukum harus berpihak pada
proletariat agar mereka bisa mengalami perbaikan hidup.
Hukum
yang ideal menurut Marx adalah yang tidak terintervensi oleh golongan kaum
borjuis atau pihak yang berkuasa. Hanya saja masalahnya adalah, hukum
sangat bergantung pada pihak yang membuatnya. Jika hukum dibuat oleh pihak yang
berkuasa, maka hukum cenderung akan lebih memihak pihak yang berkuasa pada saat
itu. Kita semua tahu bahwa pada waktu Marx hidup, yang menjadi penguasa di
Jerman saat itu adalah mereka yang menerima banyak sokongan dana dari kaum
borjuis, sehingga negara sebagai pembuat hukum pun, akhirnya lebih memihak kaum
bourjuis daripada kaum proletar yang sebenarnya sangat tertindas waktu
itu.
Pembuat
kebijakan hukum yang terkontaminasi oleh kaum borjuis, maka produk hukumnya pun
akan memproteksi atau menyokong kepentingan kaum borjuis. Demikian
demikian, hukum sangat bergantung pada siapa yang membuat kebijakan. Untuk
merubah kondisi hukum seperti ini. Marx mempunyai cara untuk menanggulanginya,
yaitu melalui gerakan revolusi. Inilah tawaran satu-satunya Marx, yang
kemudian dinamakan dengan revolusi proletariat.
Idealnya
hukum mewakili keterwakilan dari setiap segi kepentingan khususnya kepentingan
rakyat. Menurut Lefcourt adalah terwakili secara demokrasi. Ia
melihat bahwa sepatutnya hukum itu merupakan proses take and give. Semua
kelompok mempunyai daya tawar dan kesempatan yang sama, bisa saling kompromi,
tawar menawar atau bahkan bisa saling menekan dan saling mengontrol[13]. Di pihak lain, pejabat
publik dan pembuat hukum mampu merespon tekanan yang muncul dari kelompok
tersebut, dengan demikian kelak, tidak akan ada lagi kelompok dalam bidang
ekonomi, yang akan mendominasi. Masyarakat menjadi bagian dari proses
pengambilan keputusan yang segera akan mereka lakukan, seperti: pegawai akan
memeriksa bisnis mereka, petani akan melihat urbanisasi dan siswa akan
memeriksa petugas administrasi.
…..They (American social scientists) depict a society
in which widely varied groups compete with each other, in which decision-makin
rests on give-and take among various groups. Groups compromise, make
deals, and preassure each other; public officials nad law-makers respond to
these various group pressures so that no
one……economy…….group will dominate. This creates the “natural” system of checks
and balances which maintains a democracy. People become part of the
decision-making process as soon as they organize: as big labor checks big
business,……….., farmers check urbinities, students chek school administrators[14].
Kenyataan
dimana negara seringkali dipengaruhi oleh kalangan pemegang modal, sebetulnya
terjadi juga pada negara kita sekarang. Pembuat kebijakan hukum dalam hal ini
adalah negara, seringkali terkontaminasi atau terintervensi oleh orang-orang yang
mempunyai dana besar (pengusaha, konglomerat atau investor). Sebagai akibatnya,
produk hukum yang seharusnya berpihak pada orang banyak, disalahgunakan menjadi
hukum yang berpihak pada segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi.
Contoh konkrit, pengusaha, orang-orang kaya, atau konglomerat yang korup,
seringkali tidak diproses lebih lanjut di pengadilan. Apa sebabnya, pengadilan
telah diintervensi oleh pihak yang mempunyai modal dan kekuasaan. Hukum pun
menjadi sangat tergantung pada siapa yang berkuasa.
Hukum untuk Kaum Borjuis
Hans
Kelsen dalam
tulisannya berjudul Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, menyebutkan
bahwa Marx memandang negara dan hukum sebagai mesin yang sifatnya memaksa, yang
mana dengan kehadirannya, eksploitasi yang dilakukan oleh satu kelompok
terhadap kelompok lainnya terus berlangsung. Instrumen yang digunakan kelas
dominan (kelas atas, borjuis) untuk melakukan eksploitasi adalah, negara dan
hukum. Secara politis sebenarnya penguasa (negara) merupakan bagian dari
kelompok dominan, hal ini dinyatakan:
The state together with its law is the coercive
machinery for the maintenance of exploitation of one class by the other, an
instrument of the class of exploiters which, through the state and its law,
becomes the politically dominant class[15]
Sebetulnya
dalam pandangan Marx, negara (state) merupakan suatu kekuatan mapan yang
dapat menjaga konflik antar antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Agar
bisa menjaga keharmonisan, diperlukan sebuah “aturan yang mengikat” (within
the bonds of order, this order is the law[16]) yang kemudian aturan itu
dinamakan hukum.
Hans Kelsen juga berpendapat bahwa hukum mempunyai
hubungan erat dengan negara. Ia menyebut negara sebagai tempat di mana kelas
borjuis, di samping mampu mengatur ekonomi, juga mampu mengatur politik agar
posisinya sebagai pemegang produksi dapat dipertahankan dengan cara ,melakukan
eksploitasi terhadap kelas proletar. Artinya kelas borjuis mampu memposisikan
diri seorang politis, di samping sebagai kaum kapitalis. Di sini Engels
mengatakan:
Needs the state, that means an organisation of the
exploiting class for maintaining the external conditions of its production,
especially for holding down by force the exploited class. The dominance of one
class over the other, which is the essence of the state, is identical with the
eksploitation of one class by the other, the dominant class being essentially
the eksploiting class[17] (adalah merupakan kebutuhan negara, bahwa
suatu organisasi dari kelas yang melakukan eksploitasi; untuk menjaga kondisi
eksternal produksi, terutama dalam upaya mereka untuk bertahan dengan cara
pemaksaan terhadap kelas yang tereksploitasi. Dominasi suatu kelas terhadap
kelas lainnya dalam urusan negara, identik dengan eksploitasi suatu kelas
terhadap kelas lainnya, di mana kelas dominan akan menjadi kelas yang
mengeksploitasi.
Lebih
lanjut Marx mengatakan bahwa negara dan hukum saling berhubungan. Marx
mengasumsikan negara dan hukum sebagai:
Hukum merupakan aturan keras. Ia merupakan instrumen
negara. Instrumen ini hanya dapat eksis dalam masyarakat yang terbagi dalam dua
kelas: yaitu kelas yang mendominasi dengan kelas yang didominasi (the law as
coercive order and specific instrument of the state exists only in a society
divided into two classes, a dominant exploiting and a dominated exploited
class)[18].
Melihat
uraian di atas, tidak mengherankan jika pengadilan kriminal yang merupakan
operasionalisasi dari hukum, berlaku tidak seimbang dan hanya mementingkan
golongan-golongan tertentu. Tentang hal ini, Robert Lefcourt menyatakan
bahwa pengadilan kriminal (criminal courts) telah menciptakan pola hukum
selektif yang tidak seimbang yang mana kelas atas dan warga kulit
putih adalah mereka yang selalu mendapat keuntungan, are the
beneficiaries[19]. Lebih tegas Lefcourt menyebutkan
bahwa sebelum kalangan atas akan diadili. Pada saat pra pengadilan,
tuntutan hukum diselesaikannya melalui dua cara: yaitu uang jaminan dan pernyataan
bersalah. Secara terang-terangan teknik ini dilakukan melalui kerjasama
antara pejabat hukum seperti hakim, jaksa dan pembela, less blatant than
these techniques is the cooperation among officials[20]. Di Washington D.C., 90%
orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang
dari 5.000 dollar. Warga kulit hitam mempunyai tingkat yang lebih tinggi
dibandingkan warga kulit putih yang menjadi terdakwa[21].
Sebuah
penelitian yang dilakukan pada sebuah negara di Barat menunjukan bahwa
di antara pihak-pihak pelaksana hukum yang saling bertentangan (seperti jaksa
dan pembela), sebelumnya telah menjalin kerjasama untuk
menyelamatkan tertuduh.
That the experiment could take place at all
demonstrates the overt cooperation between supposedly opposing forces[22].
Itulah
yang terjadi ketika yang menjadi tertuduh adalah orang kaya raya. Survey yang
dilakukan di New York menunjukan bahwa, warga miskin dan warga bukan
kulit putih secara proporsional memiliki tingkat penangkapan yang tinggi dari
seluruh populasi. Mereka juga akan lebih lama dipenjara setelah ditangkap. Jika
penjahat tidak mengeluarkan sejumlah uang pada hakim, maka ia akan tetap berada
di penjara. Suatu studi yang membahas praktik-praktik uang jaminan menemukan
bahwa sebanyak 25 persen dari seluruh penjahat yang berada di penjara adalah
mereka yang gagal memberikan uang jaminan sebanyak 500 dollar. 45 persen adalah
narapidana yang tidak mampu membayar 1.500 dolar, sisanya sebanyak 63 persen
adalah mereka yang tidak mampu membayar 2.500 dollar. Keterangan ini disebutkan
Lefcourt sebagai berikut:
The poor and nonwhite, arrested at a proportionally
higher than the rest of the population, are more likely to be jailed after
arrest because of the court practice of imposing monetary bail. If the
defendant cannot post the amount set by a judge or give a bail bondsman
security to post it for him, he ramains in jail. One study of New York bail
practice indicates the extent to which the courts tend to incarcerate the
innocent prior trial: Twenty-five percent of all defendants in this study
failed to make bail at 500 dollars, forty-five percent failed at 1.500 percent,
and sixty-three percent at 2.500 dollars[23].
Menurut
Turk dalam buku Sociology of Law:
The availability of legal resources is in self an
impetus to social conflict, because conflicting or potentially complicting
parties cannot risk the possible costs of noit having the law—or at least some
law—on their side (terjemah: tersedianya sumber-sumber hukum itu sendiri dapat
mendorong terjadinya konflik sosial. Karena itu orang-orang yang potensial
konflik, tidak akan beresiko mengeluarkan biaya, jika hukum tidak berada di
tangan mereka) [24].
Keneddy
dengan
terang-terangan mengatakan bahwa sistem peradilan sekarang tak ubahnya seperti rumah
bordil. Hal ini dikemukakan dalam teorinya yang berjudul The
Whorehouse Theory of Law[25]. Ia mengatakan bahwa
masyarakat (orang kaya) diumpamakannya sebagai pelacur, sedangkan
profesi hukumnya diumpamakan rumah bordir[26]. Siswa hukum, tidak hanya
diajari bagaimana dia menempatkan sisi hukum
pada sisi kemanusiaan,
namun juga diajari
bagaimana ia berfikir tentang uang, kekuatan dan
hukum[27]. Di pihak lain, klien
pun, sebagai pelacur, ingin mendapat pelayanan terbaik dari rumah bordir,
tentunya dengan iming-iming uang banyak.
Fakta Sosial Hukum di
Indonesia
Lembaga yang Membuat
Kembali
pada teorinya Marx berkaitan dengan siapa yang membuat hukum. Marx menyebutkan
produk hukum dibuat oleh negara. Di Indonesia, lembaga yang mempunyai
kewenangan sebagai pembuat hukum adalah DPR (state). Ideal tidaknya hukum, sangat bergantung pada
komitmen DPR itu sendiri. Kalau DPR dipengaruhi oleh pihak yang mempunyai alat
produksi (konglomerat atau pemilik modal), produk hukum yang dihasilkan
cenderung akan mengikuti keinginan pihak yang memiliki modal. Agar DPR mampu
membuat hukum yang mengakomodir kepentingan orang banyak, maka mereka (DPR)
tidak boleh terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal.
DPR harus fair dalam membuat kebijakan hukum. Tentunya, mereka harus
lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan-kepentingan
sepihak.
Lembaga Pelaksana Hukum
Lembaga
yang berwenang sebagai pelaksana hukum di Indonesia adalah Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System). Sistem ini terdiri dari lima komponen,
yakni kepolisian, jaksa, hakim, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan
Pidana inilah yang kemudian memiliki tugas sebagai pelaksana hukum yang dibuat
oleh negara.
Fakta Sosial
Kalau
DPR sebagai pembuat hukum masih bisa dipengaruhi oleh kaum pengusaha, maka
produk hukum yang mereka keluarkan akan negatif bagi masyarakat. Produk hukum
yang mereka buat lebih mendukung pihak yang menguasai alat produksi. Kalau yang
mempunyai saham itu kemudian menyodok atau KKN terhadap negara, maka produk
hukum pun akan lebih mendorong kepentinganpemegang saham. Di pihak lain, UMR
menjadi rendah, gaji buruh memperihatinkan, tempat kerja tidak layak, dan
pemerintah tetap mengeksklusikan (tidak memberi perhatian) kaum buruh.
Realitas
kondisi money politik, korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda
Indonesia, sehingga negara ini merupakan salah satu negara terkorup di dunia,
menunjukan bukti bahwa ternyata state (dalam hal ini DPR) masih memiliki
kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan sepihak (orang yang berkuasa
dan pemilik modal) daripada memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Dengan
demikian hukumnya pun menjadi lebih subyektif bahkan makin memperkokoh orang berpengaruh
untuk menguasai pihak yang dipengaruhi.
Jika
ingin mengubah tatanan hukum yang ada, maka harus ada pressure dari
rakyat terhadap DPR sebagai pembuat hukum. DPR dituntut agar bisa memposisikan
diri sebagai pihak yang netral. Kalau perlu harus ada revolusi hukum
besar-besaran terhadap DPR agar kesempatan mereka untuk melakukan KKN dapat
diminimalisir. Lefcourt menyatakan legalitas hukum tidak hanya
bergantung pada siapa yang berkuasa, namun juga tergantung pada intensitas
perjuangan yang dilakukan oleh rakyat, yang mana hal demikian dapat
mentransformasi hubungan hukum dengan rakyat:
Legality depends not only on who is powerful but also
on the intensity of struggle by the people, which can transform legal
relationship[28].
Apakah Pembagian Kelas
borjuis dan Proletar sesuai untuk di Indonesia
Pembagian kelas seperti yang diungkapkan
Marx di atas, kurang cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia
tidak didominasi oleh pengusaha dan buruh. Menurut penulis,
situasi sosial-lah yang menyebabkan Indonesia menjadi kurang cocok untuk dibagi
menjadi dua kelas (yaitu borjuis dan proletar). Tempat kelahiran Marx adalah
Jerman, dan Jerman merupakan salah satu negara berbasiskan industri, hal ini
telah berlangsung lama.
Lain halnya di Indonesia. Indonesia
bukanlah negara industri yang mempekerjakan buruh. Akan tetapi, Indonesia merupakan negara
agraris, yang pemilik dan pekerjanya adalah para petani. Indonesia juga
mempunyai banyak guru, PNS lainnya, tokoh agama, tokoh adat, mahasiswa, dan
sebagainya. Jika melihat kondisi seperti itu, untuk membagi kelas sosial di
Indonesia, bisa jadi pembagian kelasnya-pun akan jauh lebih banyak dibandingkan
jumlah dua kelasnya Marx. Misalnya kelas bawah, kelas agak bawah, menengah, dan
sebagainya. Yang masing-masing kelas memiliki perbedaan, kekhasan dan kepentingan
masing-masing.
Tetapi bukan berarti semua konsep Marx
itu tidak cocok diterapkan di Indonesia. Banyak konsep Marx yang memiliki
kecocokan dengan kondisi di negeri kita, khususnya yang berkaitan dengan
kondisi hukum di Indonesia. Misalnya negara banyak dipengaruhi oleh kepentingan
ekonomi para pengusaha, konglomerat. Contoh lainnya, subsidi untuk dunia
perbankan yang notabene dimiliki oleh kalangan konglomerasi (borjuis)
berjumlah ratusan trilyun, ternyata dipenuhi oleh negara. Negara begitu
mudah disuap dan disogok. Korupsi meningkat tanpa mampu diselesaikan secara
hukum. Di Indonesia, faktor ekonomi cukup sentral sangat besar pengaruhnya
dalam mewarnai setiap segi kehidupan manusia, termasuk keberadaan hukum itu
sendiri. Inilah relevansinya, dengan teori Marx.
Mahasiswa di Indonesia: Proletar atau Borjuis
Di Indonesia, pressure terhadap
hukum—yang oleh Marx disebut revolusi—seringkali dilakukan oleh
mahasiswa, masalahnya adalah apakah mahasiswa termasuk ke dalam kategori
proletar atau borjuis. Di Indonesia, gerakan efektif untuk melakukan pressure
terhadap negara dalam membuat hukum banyak dilakukan oleh pihak mahasiswa.
Kita bisa melihat, otonomi daerah, pencabutan UU subversi, tindakan tegas
terhadap koruptor, dan sebagainya, itu semua dilakukan oleh mahasiswa, bukan
oleh buruh (proletar). Contoh yang paling kontras adalah runtuhnya rezim
Orde Baru, yang seringkali membuat hukum yang mementingkan pihak tertentu,
orang kaya, atau penguasa. Rezim ini berhasil diruntuhkan oleh mahasiswa.
Berkaitan dengan apakah mahasiswa
berasal dari kelas borjuis atau buruh. Menurut penulis, mahasiswa bukanlah
kelas proletariat. Bukan pula kelas borjuis. Menurut penulis, mahasiswa itu
termasuk kelas menengah. Hanya saja, Marx di sini tidak mempunyai pandangan
tentang adanya kelas menengah, dia hanya melihat masyarakat kepada dua kelas,
kelas borjuis dan kelas proletar.
Satu hal yang menarik adalah, Karl Marx
itu sendiri berasal dari kelas yang mana, apakah dia berasal dari kelas borjuis
atau kelas proletar? Bahkan bisa jadi, Marx berasal dari kaum menengah. Untuk
pembagian kelas seperti yang Marx kemukakan (tentang dua kelas), kelihatannya
mahasiswa tidak masuk kemana-mana, baik itu ke kelas borjuis maupun pada kelas
proletar. Mungkin saja Marx, dalam melihat posisi mahasiswa ini, tergantung
pada sikap mahasiswa itu sendiri. Kalau mereka berpihak pada kaum borjuis, maka
mahasiswa itu menjadi kaum borjuis. Kalau mahasiswa berpihak pada kaum
proletar, maka mahasiswa dikatakan sebagai proletar. Akan tetapi menurut
penulis, mahasiswa bukanlah kalangan borjuis, karena mereka bukan pengusaha,
bukan pula proletar sebab mereka bukan buruh. Mereka adalah komunitas
intelektual yang menyerukan moral dan supremasi hukum. Bukan
kekayaan (borjuis) bukan pula untuk isi perut (proletar).
Hukum Indonesia dan Uang
Di Indonesia uang (modal) mempunyai
peranan sangat besar dalam mempengaruhi hukum. Baik dalam lingkup “pembuatan
kebijakan” atau “pelaksananan”nya di lapangan. Jika kita ingin melihat lebih
sederhana tentang bagaimana praktik uang begitu berpengaruh terhadap hukum,
kita cukup dengan memperhatikan realitas yang terjadi di “lapangan”.
Di lapangan, kita sering melihat
khususnya di Indonesia. Bagaimana hukum bisa “dibeli” dengan uang. Seorang
koruptor “ulung” yang menelan uang trilyunan rupiah, ternyata tak mampu dijerat
hukum. Sebabnya adalah, yang bersangkutan telah terlebih dahulu menyuap
peradilan dengan “uang”. Bahkan kasus dibunuhnya seorang hakim agung pun[29],
yang seharusnya terdakwa dihukum mati atau dihukum seumur hidup,
ternyata—dengan uang—peradilan di Indonesia masih bisa pengaruhi.
Kita mengakui sebetulnya berbicara
“uang” adalah terlalu naif. Namun “benda” yang satu itulah yang sebetulnya
telah membuat hukum di Indonesia benar-benar naif. Tidak heran jika—saking
hinanya—peradilan kriminal sampai diberi gelar oleh Keneddy sebagai
lokalisasi WTS (The Whorehouse), yang dengannya lahir sebuah teori,
yakni The Whorehouse Theory of Law[30].
Di Indonesia hampir tidak ada
penyimpangan (kejahatan) yang tidak bisa dibeli dengan “uang”. Dari mulai
kejahatan ringan hingga kejahatan berat, semuanya bisa dibeli dengan uang.
Menurut Floryence Keneddy, asalkan pelayanan hukum mampu memuaskan
terhukum, maka terhukum akan membayar dan berlangganan pada
profesi hukum yang bersangkutan, baik itu terhadap polisi, jaksa, hakim atau
pengacara.
Sebetulnya kalau ada seseorang
ingin meneliti apa penyebab mundurnya supremasi hukum di Indonesia. Jawabannya
tak perlu susah, jelimet dan bertele-tele, jawabannya adalah satu yaitu “uang”.
“Uang” yang membuat hukum di Indonesia menjadi tidak jelas misi dan visinya.
Kita bisa lihat di jalan-jalan raya, bagaimana seorang polisi yang menilang
pelanggar lalu lintas. Pelanggaran cukup diganti dengan uang di pinggir jalan.
Kita juga melihat bagaimana seorang jaksa yang seharusnya menjadi
satu-satunya yang menuntut terdakwa di pengadilan, juga luluh karena uang.
Jaksa ikut-ikutan membantu terhukum[31].
Hakim pun demikian, ia menjatuhkan vonis setelah diberi sogok secukupnya. Hal
yang sama pun menimpa pengacara, yang rela membela mati-matian terdakwa dengan
pertimbangan agar komisi yang diterima dapat optimal.
Praktik-praktik semacam itu, membuat sebagian
dari teorinya Marx tentang determinisme ekonomi kian tak terbantahkan.
Ekonomi-lah (salah satunya “uang”) yang mempengaruhi superstruktur, termasuk di
dalamnya hukum. Infrastruktur (ekonomi) yang mempengaruhi superstruktur
(gagasan: politik, hukum, budaya, dan sebagainya). Bukan superstruktur yang
mempengaruhi infrastruktur[32].
Endnote
[1] Ramly, Andi
Mu’awiyah, Karl Marx, Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis,
Yogyakarta: LkiS, Cetakan I, 2000, Halaman 80.
[2] I b i d, Halaman 82.
[3] Lain halnya menurut
Weber, bahwa yang mempengaruhi kehidupan sosial itu ada tiga, pertama adalah privilige,
prestise dan power. Privilige dapat berarti ekonomi, power
berkaitan dengan politik, dan prestise berhubungan dengan budaya.
[4] The theories are
usually regarded as radical, or critical, politically orientend manifestos,
though often rooted in careful case studies and historical analysis (diambil
dari buku Marxian Conflict Theory, halaman 431).
[5] I b i d
[6] He (Bonger)
maintained that deviance is more likely in societis with capitalist economic
systems than in those that are more socialistic, because the profit motive that
underlies capitalism forcest most, if not all, people within those systems to
become “de-moralized”, that is, to becaome devoid moral feelings and sympathy
toward other people (diambil dari buku Marxian Conflict Theory,
halaman 431-432)
[7] Kondisi ini dinamakan
power. Power adalah suatu kondisi dimana seseorang harus bisa
mengendalikan pihak lainnya.
[8] Yang mempengaruhi
adalah golongan borjuis, yang dipengaruhi golongan proletariat
[9] Peters, A.A.G., dan
Koesriani, Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku
Teks Sosiologi Hukum, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan,1988, halaman 164
[10] Pihak yang seringkali dipengaruhi dan dieksploitasi menurut Marx
adalah kaum buruh (proletar), sebab waktu itu kondisi sosialnya yang
dominan adalah buruh dan pengusaha.
[11] Marx Model of
Stratification and Class Conflict, dalam buku The
Sociology of Karl Marx, Halaman 163.
[12] Conflict
Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict Theorizing, halaman
157.
[13] Warga miskin bisa
melakukan kontrol pada yang kaya, dan sebaliknya. Warga status rendah bisa
mengontrol negara, pun sebaliknya.
[14] Lefcourt, Rober, Op.
Cit., Law Against The People, halaman 32.
[15] Kelsen, Hans, The
Communist Theory of Law, pembahasan Conflict Theory, The Marx
– Engels Theory of Law, New York: Frederick A. Praeger, Inc., 1955, halaman
1.
[16] I b i d.
[17] I b i d, halaman 1.
[18] I b i d, halaman 34.
[19] Lefcourt, Rober, Op.
Cit., Law Against The People, halaman 21-22.
[20] I b i d, halaman
26.
[21] I b i d.
[22] I b i d, halaman 29.
[23] I b i d, halaman 26.
[24] Turk, Law as
weapon in Social Conflict, dalam buku Sociology of Law,
halaman 111.
[25] Keneddy, Floryence, The
Whorehouse Theory of Law, dalam buku Sociology of Law,
halaman 82-89.
[26] I b i d, halaman 81.
[27] I b i d, halaman 82
[28] Lefcourt, Op. cit.,
halaman 34.
[29] Kasus terbunuhnya
Hakim Agung Syarifuddin Kartasasmita
[30] Keneddy, Floryence,
Op. Cit., halaman 82-89
[31] Hal ini terjadi, misalnya
dengan kasus yang menimpa seorang Jaksa Agung yang menjadi penasehat hukum
salah seorang pengusaha di Jawa Timur.
[32] Meski (untuk
membantah teori Marx) ekonomi dapat saja di bawah pengaruh institusi sosial
lainnya. Hanya untuk kasus di Indonesia, akumulasi modal-lah yang mempengaruhi
supremasi hukum.