HUKUM DAN
MORALITAS DALAM EVOLUSI SOSIAL:
Sosiologi
Hukum Durkheim[1]
Chairil A Adjis, SH, MSi.
Dudi Akasyah, SAg, MSi.
Hukum pidana
mengalami beberapa perubahan sejalan dengan perkembangan social masyarakat.
Durkheim menggambarkan bahwa pada masyarakat primitif yang bercirikan
solidaritas mekanis, hukum yang berlaku adalah bersifat represif. Solidaritas
mekanis pada masyarakat primitif ini didasarkan pada aspek keserupaan, kesamaan
dan consensus. Dengan ciri seperti ini perilaku menyimpang—berdasarkan kacamata
masyarakat primitif—tidak saja akan mengancam kelanjutan kelompok secara
keseluruhan, tetapi juga dapat meluluh-lantakan identitas semua anggota
kelompok lainnya yang hanya memahami dan mengenal dirinya dari cara-cara
bertindak, berfikir dan merasa yang sama di antara anggota-anggota lain.
Dengan perspektif seperti ini, jelaslah bahwa hukum yang keluarnya pun nantinya
cenderung akan bersifat represif.
Tidak seperti
pada masyarakat primitif yang bercirikan solidaritas mekanis, bagi masyarakat
industri modern yang bercirikan solidaritas organis, hukum yang digunakan
adalah hukum restitutif. Ini adalah akibat dari proses perubahan social melalui
spesialisasi fungsional dan differensiasi structural yang diakibatkan oleh
pembagian kerja social (division of labor). Pada masyarakat modern
sanksi-sanksi hukum yang diberikan pada individu yang dianggap menyimpang
ditujukan bukan untuk menekan atau menyiksa seperti pada hukum represif,
melainkan untuk memulihkan dan memudahkan interaksi social bagi
penyimpang kelak di masa mendatang.
Analisa hukum Durkheim berkaitan dengan
Hukum dan Moralitas.
Durkheim
mengatakan bahwa hukum yang berlaku sekarang berhubungan erat dengan moralitas
dalam berbagai jenis. Durkheim membaginya ke dalam empat jenis, yang
masing-masing:
1. Hukum sebagai Larangan atas Kelakuan yang
Immoral
Larangan di sini
berkaitan dengan perasaan (moral) masyarakat. Masyarakat merasa bahwa perilaku
individu telah menyimpang, menyinggung dan mengancam moral yang dimiliki
masyarakat. Perilaku sebagai akibat immoral (menyimpang) tersebut
di satu sisi dapat dianggap merugikan orang lain, seperti perampokan atau
pembunuhan. Di sisi lain perilaku immoral (menyimpang) yang dilarang itu
terdiri atas kegiatan yang tidak menimbulkan akibat seperti di atas, atau
sifatnya yang merugikan setidak-tidaknya tidak begitu jelas, contohnya seperti
pelacuran.
2. Hukum Merupakan Kode Moral Tingkah Laku
Keseharian dalam Interaksi Sosial
Contoh untuk kode
moral ini adalah hukum kontrak, khususnya seperti yang telah digarap dan
diperhalus dalam jurisprudensi, mengharuskan cara-cara berkelakuan tertentu
bagi pihak yang terikat dalam hubungan-hubungan kontrak. Contoh lain adalah
hukum keluarga. Di dalam keluarga kita akan menemukan sebuah peraturan moral
yang mengatur antara orang tua dan anak. Yang masuk pula pada kategori ini
adalah aturan-aturan disipliner bagi berbagai profesi penting seperti tentara,
ahli hukum, dan wartawan. Hukum pada kode moral ini tidak selalu harus
tertulis. Banyak aturan-aturan social yang tidak tertulis tetapi terbukti cukup
efektif berlaku dalam masyarakat.
3. Moralitas Hukum yang Spesifik
Hukum di sini bermakna bahwa hukum mempunyai
moralitas khusus bagi kalangan profesi hukum. Yaitu dalam lingkup criminal
justice system (sistem peradilan pidana) seperti polisi, jaksa, hakim dan
pengacara. Moralitas hukum seperti ini, bukan hanya bersumber dari cerminan
masyarakat umum saja, melainkan ia telah berlaku dalam praktik di bidang hukum.
Moralitas hukum seperti ini perlu untuk dipertahankan dan dilindungi.
Sebab tanpa adanya perlindungan, maka hukum akan rentan dipengaruhi oleh
kepentingan politis. Contohnya dalam mengadili tahanan politik. Bagaimanapun
juga, pengadilan harus meneliti secara sistematis apakah individu yang
bersangkutan (tapol) terbukti bersalah karena melanggar hukum yang
diumumkan atau diketahui sebelumnya. Tidak cukup dengan hal itu,
individu juga diberi kesempatan untuk berpendapat atau mengajukan pembelaan.
4. Hukum itu secara Keseluruhan Merupakan
Penggabungan Moralitas Sosial
Alasan untuk pernyataan di atas adalah bahwa
masyarakat-masyarakat mempunyai konsepsi moral social yang berbeda, khas dan
tidak dapat digeneralisir. Dengan demikian maka kita harus menduga bahwa
konsepsi masyarakat satu dengan lainnya mengenai kewajaran social, politik,
ekonomi dan khususnya kewajaran hukum, juga akan berbeda dan terus berubah.
Dalam arti terakhir dan komprehensif inilah kita menjumpai hubungan antara
moralitas masyarakat, moralitas social dan hukum dalam karya ahli sosiologi
Prancis Emile Durkheim.
Pandangan Durkheim Mengenai Hukum Pidana
Modern
Durkheim memberi
teori tentang hukum pidana secara jelas pada kita. Menurut dia hukum pidana
berangsur-angsur akan dianggap menjadi kurang penting. Ia telah berhasil
merumuskan sebuah teori tentang evolusi hukuman sebagai suatu pembalasan
terhadap perilaku immoral. Menurut dia, essensi hukuman pada hakikatnya
tidak berubah, baik masa dulu maupun masa sekarang. Yang membedakannya adalah
bahwa hukuman masa sekarang harus dijabarkan melalui pembalasan moral yang
dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Durkheim juga menyebutkan bahwa
fungsi social yang paling penting dari negara dalam mensikapi hukuman adalah
menyumbang bagi rasionalitas dalam peristiwa-peristiwa social.
Durkheim dalam
memandang hukum dan moralitas, senantiasa mengedepankan kajian moralitas dan
kriminalitas. Kajian moralitas telah diuraikan di atas. Tentang kajian
kriminalitas, Durkheim memandang bahwa kriminalitas dilihat dari dua segi,
yaitu segi evolusi kejahatan dan hukuman itu sendiri.
Pertama, ialah
bahwa intensitas hukuman akan lebih besar jika terjadi pada masyarakat yang
kurang berkembang. Hukuman seperti ini juga akan terjadi saat rezim yang
berkuasa adalah kekuasaan yang memiliki sifat absolutis. Kedua,
institusi penjara dianggap sebagai bentuk (sarana/institusional) terampasnya
kemerdekaan untuk jangka waktu tertentu tergantung kualitas kejahatannya,
menurut Durkheim penjara merupakan jenis represif yang lebih normal.
Untuk alasan
Durkheim tentang akan runtuhnya hukum pidana di masa mendatang, adalah bahwa
pada masa mendatang orang akan lebih berfikir rasional tentang kondisi yang
terus berkembang dan kompleks. Mereka tidak akan memikirkan dan menghiraukan
lagi praktik kultus, melanggar tabu masyarakat, agama maupun kekuasaan absolut.
Pada masa mendatang kejahatan akan lebih banyak terjadi pada kepentingan-kepentingan
individu yang bersifat konkrit—termasuk di dalamnya materi, emosi, dan
sejenisnya—seperti mencuri, membunuh, mengkhianati, tidak disiplin dan
sejenisnya.
“Bagi orang-orang primitif, kejahatan
hampir-hampir berupa tidak melakukan prakti-praktik kultus, melanggar tabu-tabu
ritual, menyimpang dari adat istiadat nenek moyang, tidak mentaati otoritas di
mana otoritas itu begitu besar kuasanya. Sebaliknya, bagi orang-orang Eropa
sekarang ini, kejahatan pada hakikatnya berupa gangguan terhadap kepentingan
manusia tertentu (Durkheim, hlm. 86-87)
Dengan adanya
evolusi hukuman seperti di atas, suatu saat hukuman akan menjadi lebih lunak
dan tidak sehebat sebelumnya. Hal ini terjadi sebab tekanan kolektif terhadap
konformisme menjadi berkurang dan bahkan dapat didiskusikan secara bebas.
Sanksi-sanksi social pada akhirnya menaruh hormat pada moralitas social,
sedangkan hormat terhadap individu telah menjadi asas yang
paling penting bagi moralitas social ini. Dengan kata lain, hukuman
sadis dan irrasional dapat diganti dengan reaksi-reaksi social yang lebih
berperikemanusiaan dan rasional.
Di samping itu
Durkheim menguraikan tentang hubungan antara hukum dengan solidaritas mekanis
dan organis. Ia menggambarkan hukum pada solidaritas mekanis bersifat
penuh emosi. Hukuman berfungsi untuk menyiksa tanpa berusaha untuk menarik
manfaat apapun bagi dirinya sendiri dari penderitaan yang dipaksakan. Seperti
seseorang yang sedang menghukum hewan yang berbuat salah atau benda tak
bernyawa, yang pasif dari sikap melawan atau membela diri.
Hukum, untuk masyarakat bercirikan solidaritas
organic memiliki tipe hukum yang berlainan sama sekali dengan solidaritas
mekanis. Sifat hukumannya berupa sanksi restitutif. Ciri dari sanksi restitutif
mengandung asas kembali pada keadaan semula. Individu dihukum adalah
agar ia menuruti kembali kehidupan normal. Jika individu mampu melakukannya,
maka hakim berkewajiban untuk mengembalikan dia pada kehidupan semula.
Perkembangan Hukum di Indonesia
Kalau kita berkaca pada sejarah tentang
perkembangan hukuman di Indonesia, kita akan melihat kondisi mengenaskan. Hukum
represif berlaku sejak bangsa Indonesia berada dalam kondisi penjajahan[2],
sebagai contoh adalah apa yang dinyatakan Harsya, WB.:
Ketika Belanda mendirikan benteng di Muara Sungai Ciliwung dan
membangun Kota Batavia di sana, mereka juga memperkenalkan hukum-hukum kuno
yang berkembang di Eropa. Belanda memperlakukan hukum yang dinamakan radbraken
yakni penghancuran tangan dan kaki orang terhukum, termasuk perempuan, atau
istilah untuk membunuh terhukum melalui tiang salib. Pelaksanaan hukum demikian
mengakibatkan penderitaan yang amat sangat bagi terhukum. Contoh kasus dari
penjajahan di Indonesia terhadap hukum adalah, pelaksanaan hukum oleh kolonial
terhadap Kartadria dan Pieter Erber Veld oleh algojo Belanda. Kedua terhukum
itu, didakwa sebagai pelaku makar oleh Belanda, sehingga dianggap perlu untuk
diperlakukan secara tidak manusiawi. Tanggal 22 April 1702, penduduk Batavia
berduyun-duyun menyaksikan tontonan tragis yang menimpa Kartadria dan
Veld. Mahkamah Belanda yang bernama Heeren Schepenen menyebut keduanya
pengkhianat. Keduanya digiring dengan berpakaian serba putih ke lapangan yang
ditonton oleh banyak orang. Keduanya diikat rapat pada salib. Sesuai dengan
keputusan Heeren Schpenen, hukuman pertama yang dijatuhkan adalah memotong
tangan kanan kedua terhukum hingga putus. Selanjutnya—dengan menggunakan
penjepit yang terbuat dari besi panas—lengan dan tungkai terhukum dijepit,
sehingga lepaslah tubuh yang dijepit itu. Kemudian, daging dada dikeluarkan,
disibakkan tulang rongga dada untuk mencari jantung. Diambilnya jantung itu
kemudian dilemparkan ke muka terhukum. Kemudian, kepalanya dipenggal. Tidak
sampai di sana, sisa-sisa tubuh dipotong menjadi empat bagian, semuanya
digantung agar dapat dilihat orang. Kepala terhukum ditusuk tombak dan dibawa
terarak ke sekeliling kota, kemudian dibiarkan tertancap agar dimakan burung
(Harsya, WB., Penganiayaan di Masa Lampau di Indonesia, Jakarta:
Bhayangkara, Edisi No 02 September 1982, halaman 26).
Perilaku hukuman serupa juga
terjadi—meskipun kualitasnya tidak sekejam jaman kolonialisme—hingga tahun
1963. Berpijak dari keadaan itu, Sahardjo menyebutkan idenya tentang Lembaga
Pemasyarakatan[3]
sampai pada akhirnya konsep penjara di Indonesia dirubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan. Namun jika melihat kenyataan sekarang, khususnya yang
terjadi pada tahun-tahun terakhir (2001-2002), muncul keunikan baru, yaitu
reaksi sosial—khususnya masyarakat—yang sepertinya berani melakukan tindakan-tindakan
masyarakat primitif. Sebagai contoh, budaya penghakiman massa mulai
merebak hingga ke berbagai pelosok. Terhadap pelaku penyimpangan, seperti
pencuri ojek atau pemerkosa, masyarakat mempunyai inisiatif untuk menyiksa
pelaku atau bahkan membunuhnya. Caranya pun—seperti yang terjadi di
Tangerang—pelaku kejahatan dipukuli oleh massa, kemudian digilas puluhan sepeda
motor, dan terkahir dibakar ramai-ramai hingga pelaku penyimpangan meninggal.
Kondisi demikian akan menimbulkan dugaan
bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang cukup ideal untuk diwujudkan, ternyata
belum maksimal dalam pelaksanaannya sehingga memicu masyarakat untuk
mengadilinya sendiri. Tentunya jika masyarakat yang bertindak, subtyektivitas
untuk mengadili akan dominan, mereka memperlakukan pelaku penyimpangan
berdasarkan pada keinginan untuk membalas dendam, benci, dan keinginan untuk
menyiksa pelaku kejahatan tanpa memberi kesempatan bagi pelaku untuk membela
atau mencoba memperbaiki dirinya.
Endnote
[1] Lihat Peters, A.A.G., dan Koesriani, Siswosoebroto, Hukum dan
Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar
Harapan, 1988.
[2] Hukum represif ini—menurut Durkheim—adalah paling jelas untuk
menunjukan solidaritas mekanik, yang mana hukum lebih bersifat menekan (represive),
hukum mendefinisikan terhukum sebagai penjahat yang harus dihukum
seberat-beratnya (Lihat Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan
Modern, Jilid I, Cetakan II, di-Indonesiakan oleh Robert M.Z.
Lawang, Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 183). Solidaritas mekanik didasarkan pada
analisa mengenai masyarakat primitif (Lihat Johnson, Doyle, Paul, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, Cetakan II, di-Indonesiakan
oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 265).
[3] Sahardjo menyatakan pendapatnya bahwa tujuan pidana penjara
sesungguhnya adalah pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa “tidak
hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan
juga orang-orang –yang menurut Sahardjo—telah tersesat dan perlu diayomi oleh
pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga akan menjadi kaula yang
berfaidah dalam masyarakat Indonesia” (Sahardjo, Rumah Beringin Pengayoman, Bandung:
Rumah Pengayoman Sukamiskin, 1963).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar