Sabtu, 02 November 2013

Hukum dan Moralitas


HUKUM DAN MORALITAS DALAM EVOLUSI SOSIAL:
Sosiologi Hukum Durkheim[1]

Chairil A Adjis, SH, MSi.
Dudi Akasyah, SAg, MSi.
 
Hukum pidana mengalami beberapa perubahan sejalan dengan perkembangan social masyarakat. Durkheim menggambarkan bahwa pada masyarakat primitif yang bercirikan solidaritas mekanis, hukum yang berlaku adalah bersifat represif. Solidaritas mekanis pada masyarakat primitif ini didasarkan pada aspek keserupaan, kesamaan dan consensus. Dengan ciri seperti ini perilaku menyimpang—berdasarkan kacamata masyarakat primitif—tidak saja akan mengancam kelanjutan kelompok secara keseluruhan, tetapi juga dapat meluluh-lantakan identitas semua anggota kelompok lainnya yang hanya memahami dan mengenal dirinya dari cara-cara bertindak, berfikir dan merasa yang sama di antara anggota-anggota lain. Dengan perspektif seperti ini, jelaslah bahwa hukum yang keluarnya pun nantinya cenderung akan bersifat represif.
Tidak seperti pada masyarakat primitif yang bercirikan solidaritas mekanis, bagi masyarakat industri modern yang bercirikan solidaritas organis, hukum yang digunakan adalah hukum restitutif. Ini adalah akibat dari proses perubahan social melalui spesialisasi fungsional dan differensiasi structural yang diakibatkan oleh pembagian kerja social (division of labor). Pada masyarakat modern sanksi-sanksi hukum yang diberikan pada individu yang dianggap menyimpang ditujukan bukan untuk menekan atau menyiksa seperti pada hukum represif, melainkan untuk memulihkan dan memudahkan interaksi social bagi penyimpang kelak di masa mendatang.

Analisa hukum Durkheim berkaitan dengan Hukum dan Moralitas.
Durkheim mengatakan bahwa hukum yang berlaku sekarang berhubungan erat dengan moralitas dalam berbagai jenis. Durkheim membaginya ke dalam empat jenis, yang masing-masing:
1.  Hukum sebagai Larangan atas Kelakuan yang Immoral
Larangan di sini berkaitan dengan perasaan (moral) masyarakat. Masyarakat merasa bahwa perilaku individu telah menyimpang, menyinggung dan mengancam moral yang dimiliki masyarakat. Perilaku sebagai akibat immoral (menyimpang) tersebut di satu sisi dapat dianggap merugikan orang lain, seperti perampokan atau pembunuhan. Di sisi lain perilaku immoral (menyimpang) yang dilarang itu terdiri atas kegiatan yang tidak menimbulkan akibat seperti di atas, atau sifatnya yang merugikan setidak-tidaknya tidak begitu jelas, contohnya seperti pelacuran.
2.  Hukum Merupakan Kode Moral Tingkah Laku Keseharian dalam Interaksi Sosial
Contoh untuk kode moral ini adalah hukum kontrak, khususnya seperti yang telah digarap dan diperhalus dalam jurisprudensi, mengharuskan cara-cara berkelakuan tertentu bagi pihak yang terikat dalam hubungan-hubungan kontrak. Contoh lain adalah hukum keluarga. Di dalam keluarga kita akan menemukan sebuah peraturan moral yang mengatur antara orang tua dan anak. Yang masuk pula pada kategori ini adalah aturan-aturan disipliner bagi berbagai profesi penting seperti tentara, ahli hukum, dan wartawan. Hukum pada kode moral ini tidak selalu harus tertulis. Banyak aturan-aturan social yang tidak tertulis tetapi terbukti cukup efektif berlaku dalam masyarakat.


3.  Moralitas Hukum yang Spesifik
Hukum di sini bermakna bahwa hukum mempunyai moralitas khusus bagi kalangan profesi hukum. Yaitu dalam lingkup criminal justice system (sistem peradilan pidana) seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Moralitas hukum seperti ini, bukan hanya bersumber dari cerminan masyarakat umum saja, melainkan ia telah berlaku dalam praktik di bidang hukum. Moralitas hukum seperti ini perlu untuk dipertahankan dan dilindungi. Sebab tanpa adanya perlindungan, maka hukum akan rentan dipengaruhi oleh kepentingan politis. Contohnya dalam mengadili tahanan politik. Bagaimanapun juga, pengadilan harus meneliti secara sistematis apakah individu yang bersangkutan (tapol) terbukti bersalah karena melanggar hukum yang diumumkan atau diketahui sebelumnya. Tidak cukup dengan hal itu, individu juga diberi kesempatan untuk berpendapat atau mengajukan pembelaan.
4.  Hukum itu secara Keseluruhan Merupakan Penggabungan Moralitas Sosial
Alasan untuk pernyataan di atas adalah bahwa masyarakat-masyarakat mempunyai konsepsi moral social yang berbeda, khas dan tidak dapat digeneralisir. Dengan demikian maka kita harus menduga bahwa konsepsi masyarakat satu dengan lainnya mengenai kewajaran social, politik, ekonomi dan khususnya kewajaran hukum, juga akan berbeda dan terus berubah. Dalam arti terakhir dan komprehensif inilah kita menjumpai hubungan antara moralitas masyarakat, moralitas social dan hukum dalam karya ahli sosiologi Prancis Emile Durkheim.
Pandangan Durkheim Mengenai Hukum Pidana Modern
Durkheim memberi teori tentang hukum pidana secara jelas pada kita. Menurut dia hukum pidana berangsur-angsur akan dianggap menjadi kurang penting. Ia telah berhasil merumuskan sebuah teori tentang evolusi hukuman sebagai suatu pembalasan terhadap perilaku immoral. Menurut dia, essensi hukuman pada hakikatnya tidak berubah, baik masa dulu maupun masa sekarang. Yang membedakannya adalah bahwa hukuman masa sekarang harus dijabarkan melalui pembalasan moral yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Durkheim juga menyebutkan bahwa fungsi social yang paling penting dari negara dalam mensikapi hukuman adalah menyumbang bagi rasionalitas dalam peristiwa-peristiwa social.
Durkheim dalam memandang hukum dan moralitas, senantiasa mengedepankan kajian moralitas dan kriminalitas. Kajian moralitas telah diuraikan di atas. Tentang kajian kriminalitas, Durkheim memandang bahwa kriminalitas dilihat dari dua segi, yaitu segi evolusi kejahatan dan hukuman itu sendiri.
Pertama, ialah bahwa intensitas hukuman akan lebih besar jika terjadi pada masyarakat yang kurang berkembang. Hukuman seperti ini juga akan terjadi saat rezim yang berkuasa adalah kekuasaan yang memiliki sifat absolutis. Kedua, institusi penjara dianggap sebagai bentuk (sarana/institusional) terampasnya kemerdekaan untuk jangka waktu tertentu tergantung kualitas kejahatannya, menurut Durkheim penjara merupakan jenis represif yang lebih normal.
Untuk alasan Durkheim tentang akan runtuhnya hukum pidana di masa mendatang, adalah bahwa pada masa mendatang orang akan lebih berfikir rasional tentang kondisi yang terus berkembang dan kompleks. Mereka tidak akan memikirkan dan menghiraukan lagi praktik kultus, melanggar tabu masyarakat, agama maupun kekuasaan absolut. Pada masa mendatang kejahatan akan lebih banyak terjadi pada kepentingan-kepentingan individu yang bersifat konkrit—termasuk di dalamnya materi, emosi, dan sejenisnya—seperti mencuri, membunuh, mengkhianati, tidak disiplin dan sejenisnya.
“Bagi orang-orang primitif, kejahatan hampir-hampir berupa tidak melakukan prakti-praktik kultus, melanggar tabu-tabu ritual, menyimpang dari adat istiadat nenek moyang, tidak mentaati otoritas di mana otoritas itu begitu besar kuasanya. Sebaliknya, bagi orang-orang Eropa sekarang ini, kejahatan pada hakikatnya berupa gangguan terhadap kepentingan manusia tertentu (Durkheim, hlm. 86-87)
Dengan adanya evolusi hukuman seperti di atas, suatu saat hukuman akan menjadi lebih lunak dan tidak sehebat sebelumnya. Hal ini terjadi sebab tekanan kolektif terhadap konformisme menjadi berkurang dan bahkan dapat didiskusikan secara bebas. Sanksi-sanksi social pada akhirnya menaruh hormat pada moralitas social, sedangkan hormat terhadap individu telah menjadi asas yang paling penting bagi moralitas social ini. Dengan kata lain, hukuman sadis dan irrasional dapat diganti dengan reaksi-reaksi social yang lebih berperikemanusiaan dan rasional.
            Di samping itu Durkheim menguraikan tentang hubungan antara hukum dengan solidaritas mekanis dan organis. Ia menggambarkan hukum pada solidaritas mekanis bersifat penuh emosi. Hukuman berfungsi untuk menyiksa tanpa berusaha untuk menarik manfaat apapun bagi dirinya sendiri dari penderitaan yang dipaksakan. Seperti seseorang yang sedang menghukum hewan yang berbuat salah atau benda tak bernyawa, yang pasif dari sikap melawan atau membela diri.
Hukum, untuk masyarakat bercirikan solidaritas organic memiliki tipe hukum yang berlainan sama sekali dengan solidaritas mekanis. Sifat hukumannya berupa sanksi restitutif. Ciri dari sanksi restitutif mengandung asas kembali pada keadaan semula. Individu dihukum adalah agar ia menuruti kembali kehidupan normal. Jika individu mampu melakukannya, maka hakim berkewajiban untuk mengembalikan dia pada kehidupan semula.

Perkembangan Hukum di Indonesia

Kalau kita berkaca pada sejarah tentang perkembangan hukuman di Indonesia, kita akan melihat kondisi mengenaskan. Hukum represif berlaku sejak bangsa Indonesia berada dalam kondisi penjajahan[2], sebagai contoh adalah apa yang dinyatakan Harsya, WB.:
Ketika Belanda mendirikan benteng di Muara Sungai Ciliwung dan membangun Kota Batavia di sana, mereka juga memperkenalkan hukum-hukum kuno yang berkembang di Eropa. Belanda memperlakukan hukum yang dinamakan radbraken yakni penghancuran tangan dan kaki orang terhukum, termasuk perempuan, atau istilah untuk membunuh terhukum melalui tiang salib. Pelaksanaan hukum demikian mengakibatkan penderitaan yang amat sangat bagi terhukum. Contoh kasus dari penjajahan di Indonesia terhadap hukum adalah, pelaksanaan hukum oleh kolonial terhadap Kartadria dan Pieter Erber Veld oleh algojo Belanda. Kedua terhukum itu, didakwa sebagai pelaku makar oleh Belanda, sehingga dianggap perlu untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Tanggal 22 April 1702, penduduk Batavia berduyun-duyun menyaksikan tontonan tragis yang menimpa Kartadria dan Veld. Mahkamah Belanda yang bernama Heeren Schepenen menyebut keduanya pengkhianat. Keduanya digiring dengan berpakaian serba putih ke lapangan yang ditonton oleh banyak orang. Keduanya diikat rapat pada salib. Sesuai dengan keputusan Heeren Schpenen, hukuman pertama yang dijatuhkan adalah memotong tangan kanan kedua terhukum hingga putus. Selanjutnya—dengan menggunakan penjepit yang terbuat dari besi panas—lengan dan tungkai terhukum dijepit, sehingga lepaslah tubuh yang dijepit itu. Kemudian, daging dada dikeluarkan, disibakkan tulang rongga dada untuk mencari jantung. Diambilnya jantung itu kemudian dilemparkan ke muka terhukum. Kemudian, kepalanya dipenggal. Tidak sampai di sana, sisa-sisa tubuh dipotong menjadi empat bagian, semuanya digantung agar dapat dilihat orang. Kepala terhukum ditusuk tombak dan dibawa terarak ke sekeliling kota, kemudian dibiarkan tertancap agar dimakan burung (Harsya, WB., Penganiayaan di Masa Lampau di Indonesia, Jakarta: Bhayangkara, Edisi No 02 September 1982, halaman 26).
Perilaku hukuman serupa juga terjadi—meskipun kualitasnya tidak sekejam jaman kolonialisme—hingga tahun 1963. Berpijak dari keadaan itu, Sahardjo menyebutkan idenya tentang Lembaga Pemasyarakatan[3] sampai pada akhirnya konsep penjara di Indonesia dirubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Namun jika melihat kenyataan sekarang, khususnya yang terjadi pada tahun-tahun terakhir (2001-2002), muncul keunikan baru, yaitu reaksi sosial—khususnya masyarakat—yang sepertinya berani melakukan tindakan-tindakan masyarakat primitif. Sebagai contoh, budaya penghakiman massa mulai merebak hingga ke berbagai pelosok. Terhadap pelaku penyimpangan, seperti pencuri ojek atau pemerkosa, masyarakat mempunyai inisiatif untuk menyiksa pelaku atau bahkan membunuhnya. Caranya pun—seperti yang terjadi di Tangerang—pelaku kejahatan dipukuli oleh massa, kemudian digilas puluhan sepeda motor, dan terkahir dibakar ramai-ramai hingga pelaku penyimpangan meninggal.
Kondisi demikian akan menimbulkan dugaan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang cukup ideal untuk diwujudkan, ternyata belum maksimal dalam pelaksanaannya sehingga memicu masyarakat untuk mengadilinya sendiri. Tentunya jika masyarakat yang bertindak, subtyektivitas untuk mengadili akan dominan, mereka memperlakukan pelaku penyimpangan berdasarkan pada keinginan untuk membalas dendam, benci, dan keinginan untuk menyiksa pelaku kejahatan tanpa memberi kesempatan bagi pelaku untuk membela atau mencoba memperbaiki dirinya.

Endnote



[1] Lihat Peters, A.A.G., dan Koesriani, Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Harapan, 1988.
[2] Hukum represif ini—menurut Durkheim—adalah paling jelas untuk menunjukan solidaritas mekanik, yang mana hukum lebih bersifat menekan (represive), hukum mendefinisikan terhukum sebagai penjahat yang harus dihukum seberat-beratnya (Lihat Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, Cetakan II, di-Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 183). Solidaritas mekanik didasarkan pada analisa mengenai masyarakat primitif (Lihat Johnson, Doyle, Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, Cetakan II, di-Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 265).
[3] Sahardjo menyatakan pendapatnya bahwa tujuan pidana penjara sesungguhnya adalah pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa “tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya  perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang –yang menurut Sahardjo—telah tersesat dan perlu diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga akan menjadi kaula yang berfaidah dalam masyarakat Indonesia” (Sahardjo, Rumah Beringin Pengayoman, Bandung: Rumah Pengayoman Sukamiskin, 1963).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar