Sabtu, 02 November 2013

hukum dan konflik


HUKUM DAN KONFLIK
Tinjauan Sosiologis Kriminologis dan Kasus di Indonesia

Chairil A Adjis
Dudi Akasyah



Ideally, law capable to contribute social order in human life. Law have centre role as well in conflict mediating and solving. But the situation to be different if the objectivity of law is contaminated by subjective interest, where the law is not seen as contributor for social order, but raises as conflict resistence. According to Marx, such resistence caused by authority intervention. Ideal Law is independence law from authority intervention and stand on public side. As the case sample for conflict and law writing, author explores empirical realities in Indonesia.

Pengantar

Hukum memiliki peranan strategis bagi terciptanya ketertiban sosial. Namun masalahnya adalah, apabila hukum tersebut memiliki keberpihakan subjektif maka hukum bukannya memberi iklim kondusif bagi tatanan sosial yang ada melainkan potensial untuk menimbulkan konflik yang berlarut. Di sinilah pentingnya mencermati dan mengutamakan objektivitas hukum sehingga mampu menciptakan ketertiban sosial dan mampu meredam konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada uraian di bawah ini penulis mencoba menggambarkan konsekuensi hukum yang berpihak secara subyektif, dalam arti hukum hanya berpihak pada sekelompok kecil, seperti kepentingan penguasa. Pada kondisi di mana hukum berpihak pada sekelompok orang, maka peluang munculnya konflik akan terbuka dan hukum menjadi kontra-produktif dari tujuannya semula sebagai sarana bagi terciptanya ketertiban sosial.
Konflik Sosial
Uraian mengenai konflik banyak ditemukan dalam karya Marx. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemikiran utama Marx salah satunya adalah determinisme ekonomi. Determinisme ini sangat terkait dengan konflik. Ada dua pihak dalam kategori Marx yang berseteru selamanya dan tidak pernah akan berakhir. Yang pertama berasal dari kaum yang menguasai dan yang kedua berasal dari kaum yang dikuasai. Dalam perspektif Marx, kelompok yang menguasai disebut sebagai golongan borjuis sedangkan kelompok yang dikuasai adalah golongan proletar. Kedua kubu ini, digambarkan oleh Marx sebagai dua kelompok yang terus menerus diwarnai konflik.
Tetapi ada satu hal yang tidak dibahas oleh Marx, yakni dia tidak melihat bahwa sebenarnya ada lembaga sosial yang tidak bisa berfungsi karena konflik. Padahal lembaga sosial tersebut dapat dipandang mampu untuk meredam konflik. Inilah yang dilupakan dalam pemikiran Marx. Konsentrasi pemikiran Marx terpaku hanya pada pembahasan mengenai kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai, tanpa mampu membahas lebih jauh bahwa masih ada lembaga sosial lain yang mampu meredam konflik di antara dua kubu yang bertikai.
Menurut Marx, setiap bentuk sosial terdiri dari tingkatan-tingkatan (struktur) objektif dan pada akhirnya hanya tinggal satu tingkat yang mempengaruhi dan mendominasi tingkat lain yang disebut dengan faktor ekonomi (Ramly, 2000: 80). Berkenaan dengan hal itu, Marx mempunyai pemikiran, bahwa masyarakat itu terbagi ke dalam dua struktur. Struktur pertama, adalah infrastruktur (lapisan bawah). Struktur kedua, adalah superstruktur (lapisan atas). Infrastruktur adalah ekonomi itu sendiri, yang merupakan motor kehidupan masyarakat atau inti yang menentukan kehidupan masyarakat. Sedangkan superstruktur bersifat gagasan seperti politik, hukum, atau ilmu pengetahuan. Superstruktur merupakan kristalisasi atau pencerminan dari infrastruktur.

Determinisme Ekonomi

Jika ekonomi dipandang sebagai infrastruktur, maka ekonomi menjadi hal yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Ekonomi menjadi segalanya bagi manusia. Faktor ekonomi-lah yang nantinya akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan sosial. Termasuk di dalamnya adalah superstruktur, seperti hukum, ideologi, agama, politik, atau budaya. Dengan demikian, jika infrastrukturnya hancur, maka superstrukturnya pun akan ikut runtuh.
Inilah yang ditekankan Marx yang disebut dengan determinisme ekonomi. Menurut dia faktor satu-satunya yang mempengaruhi kehidupan ini adalah ekonomi. Sedangkan yang lainnya termasuk hukum, merupakan superstruktur yang bisa saja dipengaruhi oleh infrastruktur. Meski demikian, menurut Marx, tidak semuanya hukum itu dipengaruhi oleh ekonomi. Contohnya adalah Hukum Waris, yang menurutnya hukum waris ini mempunyai fungsi sebagai pemberdayaan sosial.

Hukum dan Konflik

Diakui bahwa teori Marx ini dianggap sebagai teori yang radikal dan kritis. Untuk beberapa hal banyak mengandung nilai politis, namun disadari pula bahwa teori Marx ini seringkali menjadi sumber dalam beberapa studi kasus dan analisa sejarah. Teori Marx ini didesain untuk mengekspos sifat jahat masyarakat kapitalis. Bonger (1916) seorang kriminolog mengakui bahwa, penyimpangan lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang menganut sistem ekonomi kapitalis, kecenderungannya lebih tinggi daripada masyarakat sosialis. Yang mendorong masyarakat kapitalis sering terlibat konflik, karena di sana ada motif meraih keuntungan. Di samping itu masyarakat kapitalis mempunyai sifat demoralisasi, yakni tidak memiliki perasaan moral dan simpati terhadap orang lain. Oleh sebab itulah variabel yang senantiasa ikut serta dalam faham kapitalisme adalah persaingan dan kerugian. Jika mereka (kapitalis) ingin berkompetisi memperoleh keuntungan di bidang ekonomi, mereka harus mampu menekan rasa simpati mereka terhadap para pesaingnya. Hasilnya menurut Bonger, tanpa bisa dihindari akan banyak orang yang mengalami kesulitan. Dari sana lahirlah perilaku egois dari masyarakat yang tertekan, untuk  menjalani perjuangan mencapai kebahagiaan hidup.

Ciri Mendasar Konflik Menurut Marx

Ada dua ciri mendasar mengenai konflik menurut Marx, yakni:
1.      Adanya Struktur Masyarakat yang Mempengaruhi dan yang Dipengaruhi
Kondisi sosial yang saling mempengaruhi dapat menimbulkan konflik. Sebab pada intinya, hampir semua orang berkeinginan untuk menguasai antara satu dengan yang lainnya. Kondisi demikian dapat menentukan, siapa yang kuat maka dia akan menguasai orang. Siapa yang mempunyai alat produksi maka dia bisa menguasai pihak lain. Kondisi demikian, kurang menguntungkan pihak proletariat sebagai pihak yang dipengaruhi sehingga memicu terjadinya “perjuangan kelas”.
2.      Adanya pola hubungan
Pola hubungannya, adalah pihak yang mempengaruhi (borjuis) adalah determinan untuk menguasai pihak yang dipengaruhi (proletar). Selama ada yang berkuasa dengan yang dikuasai, selama itu konflik akan terjadi. Menurut Marx seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa konflik itu akan terjadi selamanya. Konflik terjadi disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi. Jadi siapa yang mempengaruhi dialah yang menguasai, dan siapa yang dipengaruhi, maka dia akan dikuasai.
Yang diusulkan Marx dalam menyikapi hal-hal seperti ini adalah, harus dibuat hukum yang mengatur agar kondisi menguasai dan dikuasai dirubah menjadi menjadi kondisi “kesamaan”, yakni sama rata dan sama derajat. Sebab jika tidak, maka konflik akan terjadi selamanya. Kondisi sosial senantiasa akan diwarnai ketimpangan dan diskriminasi sebagai konsekuensi antara yang dikuasai dan yang menguasai.
Pelaksanaan dari hukum seperti itu—yakni adanya kesamaan antara satu sama lainnya—dengan sendirinya tidak akan ada lagi alat-alat produksi yang dipegang dan dimiliki oleh pihak yang menguasai, seperti halnya kaum borjuis. Umpamanya bidang ekonomi, itu tidak boleh dikuasai oleh salah seorang, tetapi harus dipegang oleh negara. Oleh negara kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat menikmati dan memiliki.  Contoh  lainnya seperti hutan, hutan harus dikuasai oleh negara yang hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat banyak oleh masyarakat umum.
Pelaksanaan dari hukum ini agar tidak menindas menurut Marx adalah: pemilikan tanah harus bersifat komunal. Meski demikian penggarapan tanah dilakukan sendiri-sendiri, dan tanah yang digarapnya adalah tanah milik komunal. Intinya, kepemilikan adalah milik bersama. Penggarapannya dilakukan terbagi-bagi. Dengan demikian, semuanya bisa merasakan kebersamaan hak dan derajat (Peters, 1988: 164).
Untuk memperbaiki realitas seperti ini—menurut Marx—golongan proletariat harus mengadakan pressure, dalam istilah Marx disebut sebagai Revolusi Proletariat. Revolusi ini mempunyai tujuan membentuk masyarakat sosialis. Dengan revolusi, nasib pihak yang dikuasai (proletariat) tidak lagi dieksploitasi untuk memproduksi barang-barang produksi dengan gaji yang tidak seimbang. Tereksploitasinya proletar merupakan akar masalah sehingga konflik kemudian sering terjadi.
Masyarakat sosialis dipahami Marx, sebagai masyarakat yang mengakui bahwa sistem kepemilikan produksi disandarkan pada hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia dalam mencapai harkatnya tanpa penindasan. Dengan kata lain, sosialis merupakan sebuah sistem yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.
Inilah sebetulnya idealisme Marx. Ia menginginkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Marx mempunyai visi khayalan tentang masyarakat kelas, dimana orang-orang mampu bertindak kooperatif untuk barang-barang yang sifatnya umum. Marx percaya bahwa tujuan tersebut dapat tercapai melalui sentralisasi kekuatan politik di tangan negara.
Proposisi Marx Tentang Proses Konflik
Dalam buku Conflict Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict Theorizing. Disebutkan bahwa, terdapat beberapa proposisi berkaitan dengan proses konflik menurut Marx. Masing-masing proposisi yang diajukan berbunyi sebagai berikut:
  I.      Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya, maka akan semakin besar konflik yang terjadi antara kelas atas (borjuis) dengan kelas bawah (proletar). (“The more unequal is the distribution of scarce resources in a society, the greater is the basic of interest between its dominant and subordinate segments”)
Pada proposisi ini Marx berargumentasi bahwa, ketidak-seimbangan dalam distribusi sumber daya, akan memunculkan “konflik kepentingan”.
   II. Semakin kelas bawah menyadari bahwa, mereka harus mementingkan kebutuhan mereka yang sesungguhnya, maka akan semakin sering mereka mempertanyakan legitimasi sumber daya yang dimiliki kalangan atas (“The more subordinate segments became aware of their true collective interest, the more likely they are to question the legitimacy of the existing pattern of distribution of scarce resources”)
Anggota kelas yang lebih rendah menjadi sadar akan kepentingan mereka yang sesungguhnya, bahwa mereka diperas, dieksploitasi dan dirugikan dalam keuntungan produksi. Kenyataan demikian menumbuhkan tanda tanya diantara mereka mengenai produksi yang hanya dikuasai kalangan atas.
III. Masyarakat kelas bawah akan lebih sadar terhadap kepentingan mereka (“Subordinates are more likely to become aware of their true collective interest”), ketika:
A.     Perubahan yang dibuat oleh pihak yang dominan (kelas atas), dianggap mengganggu kepentingan kelas bawah (Changes wrought by dominant segments disrupt existing relations emong subordinates).
B.     Praktik-praktik kelas atas menciptakan keterasingan pada masyarakat kelas bawah (“Practice of dominant segments create alienatif dispositions”).
C.     Setiap individu yang berada di kelas bawah saling mengkomunikasikan kesengsaraan mereka pada rekannya yang lain (“Members of subordinate segments can communicate their grievances to one another which), yang difasilitasi oleh:
1.      Konsentrasi ekologi di antara kelompok kelas bawah (“The ecological contrentation among members of subordinate groups”).
2.      Ekspansi kesempatan pendidikan untuk anggota kelompok bawah (“The expansion of educational opportunities for members of subordinate groups”).
D.    Segmen kelas bawah dapat mengembangkan ideologi pemersatu (“Subordinate segments can develop unifying ideologis) yang difasilitasi oleh:
1.      Kapasitas untuk merekrut juru bicara ideologi (“The capacity to recruit or generate ideological spokespeople”).
2.      Ketidak-mampuan kelompok dominan untuk meregulasi proses-proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di antara anggota kelas bawah (“The inability of dominant groups to regulate socialization process and communication networks among subordinates”).
Pada proposisi ketiga, secara berturut-turut berisikan kekacauan yang terjadi pada saat kelas bawah menyusun kekuatan ideologi secara internal.
IV. Semakin sering kelas bawah menyadari kepentingan mereka dan mempertanyakan legitimasi distribusi sumber daya, maka akan semakin sering mereka terlibat dalam konflik untuk melawan kelas atas (Terjemah bebas dari,The more that subordinate segments of a system become aware of their collective interests and question the legitimacy of the distribution of scarce resources, the more likely they are to join in overt conflict against dominant segments of a system), khususnya ketika:
A.    Kelompok dominan tidak mampu mengartikulasikan kepentingan mereka dengan rasional (Terjemah bebas dari, Dominant group cannot clearly articulate, not act in, their collective interests).
B.     Menurunnya aturan absolut yang mengungkung kelas bawah, digantikan oleh aturan relatif yang bergerak secara cepat (Terjemah bebas dari,Deprivations of subordinate move from an absolute to a relative basis, or escalate rapidly).
C.     Kelompok bawah mampu membentuk struktur kepemimpinan politik (Subordinate groups can develop a political leadership structure).
Intensitas perlawanan kelas akan tumbuh ketika kelas bawah menyadari “kepentingan” mereka dan “mempertanyakan” keabsahan surplus produksi yang mana mereka berperan besar di dalamnya.
    V.      Makin kuat pemersatu ideologi dan berkembangnya struktur kepemimpinan kelas bawah, maka semakin besar kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yang terpolarisasi (The greater is the ideological unification of members of subordinate segments of a system and the more developed is their political leadership structure, the more likely are the interests and relations between dominant and subjugated segments of society to become polarized and irreconcilable).
Marx dalam proposisi kelima menekankan bahwa sekali saja kelompok yang ditindas memiliki ideologi pemersatu dan pemimpin politik, maka kepentingan mereka dengan sendirinya akan fokus. Perlawanan terhadap kelas atas mulai meningkat. Ketika polarisasi meningkat, maka kemungkinan akan adanya proses rekonsiliasi, kompromi atau konflik akan menurun.
 VI.      Makin besar polarisasi, makin besar konflik yang menjadi kekerasan (The more polarized are the dominant and subjugated, the more will the conflict be violent).
Proposisi keenam menggaris-bawahi bahwa, masyarakat kelas bawah mulai melakukan konfrontasi ketika kekerasan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Artinya Marx mencatat bahwa, konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi sosial. Khususnya dalam distribusi sumber yang jarang diperoleh masyarakat kelas bawah.
 VII.    Makin keras konflik, makin besar perubahan di dalam masyarakat, dan makin besar pula distribusi kembali pada sumber daya (The more violent is the conflict, the greater is the mount of the structural change within a society and the greater is the redistribution of scarce resources).
Akhirnya, Marx menetapkan bahwa konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi sosial, khususnya di dalam “distribusi sumber daya” yang jarang diperoleh masyarakat kelas bawah.
Pandangan Marx terhadap Hukum
Ada tiga komponen yang menjadi bahan kajian Marx pada waktu itu. Ketiganya adalah proletariat, borjuis, dan state (negara). Yang membuat hukum adalah state. Idealnya hukum itu berfungsi untuk mengakomodir kepentingan rakyat. Tetapi kenyataannya—praksisnya—justru yang mempengaruhi state waktu itu adalah kaum borjuis, yaitu kaum yang memiliki alat produksi. Sehingga produk hukum yang dikeluarkan oleh negara waktu itu, lebih cenderung memihak kaum borjuis, tidak memihak pada rakyat. Inginnya Marx, negara mampu membuat hukum yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Marx menginginkan hukum itu bisa memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan manusia. Karena dengan hukum, akan terjadi suatu ketertiban sosial. Artinya hukum dapat mengatur hubungan antara kaum borjuis dengan proletariat. Masyarakat pada umumnya, akan bisa berubah menjadi lebih baik jika hukum bisa menengahi atau menyelesaikan konflik waktu itu. Ketika konflik gencar terjadi waktu itu, harusnya yang menjadi media penyelesaiannya adalah hukum. Di samping itu, hukum dapat dianggap sebagai alat pemberdayaan. Pemberdayaan di sini merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak yang pada berbagai kondisi sering tertindas. Dengan demikian hukum harus berpihak pada proletariat agar mereka bisa mengalami perbaikan hidup.
Hukum yang ideal menurut Marx adalah yang tidak terintervensi oleh golongan kaum borjuis atau pihak yang berkuasa. Hanya saja masalahnya adalah, hukum sangat bergantung pada pihak yang membuatnya. Jika hukum dibuat oleh pihak yang berkuasa, maka hukum cenderung akan lebih memihak pihak yang berkuasa pada saat itu. Kita semua tahu bahwa pada waktu Marx hidup, yang menjadi penguasa di Jerman saat itu adalah mereka yang menerima banyak sokongan dana dari kaum borjuis, sehingga negara sebagai pembuat hukum pun, akhirnya lebih memihak kaum bourjuis daripada kaum proletar yang sebenarnya sangat tertindas waktu itu. 
Pembuat kebijakan hukum yang terkontaminasi oleh kaum borjuis, maka produk hukumnya pun akan memproteksi atau menyokong kepentingan kaum borjuis. Demikian demikian, hukum sangat bergantung pada siapa yang membuat kebijakan. Untuk merubah kondisi hukum seperti ini. Marx mempunyai cara untuk menanggulanginya, yaitu melalui gerakan revolusi. Inilah tawaran satu-satunya Marx, yang kemudian dinamakan dengan revolusi proletariat.
Idealnya hukum mewakili keterwakilan dari setiap segi kepentingan khususnya kepentingan rakyat. Menurut Lefcourt adalah terwakili secara demokrasi. Ia melihat bahwa sepatutnya hukum itu merupakan proses take and give. Semua kelompok mempunyai daya tawar dan kesempatan yang sama, bisa saling kompromi, tawar menawar atau bahkan bisa saling menekan dan saling mengontrol. Di pihak lain, pejabat publik dan pembuat hukum mampu merespon tekanan yang muncul dari kelompok tersebut, dengan demikian kelak, tidak akan ada lagi kelompok dalam bidang ekonomi, yang akan mendominasi. Masyarakat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang segera akan mereka lakukan, seperti: pegawai akan memeriksa bisnis mereka, petani akan melihat urbanisasi dan siswa akan memeriksa petugas administrasi.
…..They (American social scientists) depict a society in which widely varied groups compete with each other, in which decision-makin rests on give-and take among various groups. Groups compromise, make deals, and preassure each other; public officials nad law-makers respond to these various group pressures so that  no one……economy…….group will dominate. This creates the “natural” system of checks and balances which maintains a democracy. People become part of the decision-making process as soon as they organize: as big labor checks big business,……….., farmers check urbinities, students chek school administrators (Lefcourt, 1966: 32).
Kenyataan dimana negara seringkali dipengaruhi oleh kalangan pemegang modal, sebetulnya terjadi juga pada negara kita sekarang. Pembuat kebijakan hukum dalam hal ini adalah negara, seringkali terkontaminasi atau terintervensi oleh orang-orang yang mempunyai dana besar (pengusaha, konglomerat atau investor). Sebagai akibatnya, produk hukum yang seharusnya berpihak pada orang banyak, disalahgunakan menjadi hukum yang berpihak pada segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi. Contoh konkrit, pengusaha, orang-orang kaya, atau konglomerat yang korup, seringkali tidak diproses lebih lanjut di pengadilan. Apa sebabnya, pengadilan telah diintervensi oleh pihak yang mempunyai modal dan kekuasaan. Hukum pun menjadi sangat tergantung pada siapa yang berkuasa.
Hukum untuk Kaum Borjuis
Hans Kelsen dalam tulisannya berjudul Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, menyebutkan bahwa Marx memandang negara dan hukum sebagai mesin yang sifatnya memaksa, yang mana dengan kehadirannya, eksploitasi yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya terus berlangsung. Instrumen yang digunakan kelas dominan (kelas atas, borjuis) untuk melakukan eksploitasi adalah, negara dan hukum. Secara politis sebenarnya penguasa (negara) merupakan bagian dari kelompok dominan, hal ini dinyatakan:
The state together with its law is the coercive machinery for the maintenance of exploitation of one class by the other, an instrument of the class of exploiters which, through the state and its law, becomes the politically dominant class (Kelsen, 1955:1).
Sebetulnya dalam pandangan Marx, negara (state) merupakan suatu kekuatan mapan yang dapat menjaga konflik antar antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Agar bisa menjaga keharmonisan, diperlukan sebuah “aturan yang mengikat” yang kemudian aturan itu dinamakan hukum. Hans Kelsen juga berpendapat bahwa hukum mempunyai hubungan erat dengan negara. Ia menyebut negara sebagai tempat di mana kelas borjuis, di samping mampu mengatur ekonomi, juga mampu mengatur politik agar posisinya sebagai pemegang produksi dapat dipertahankan dengan cara ,melakukan eksploitasi terhadap kelas proletar. Artinya kelas borjuis mampu memposisikan diri seorang politis, di samping sebagai kaum kapitalis. Di sini Engels mengatakan:
Needs the state, that means an organisation of the exploiting class for maintaining the external conditions of its production, especially for holding down by force the exploited class. The dominance of one class over the other, which is the essence of the state, is identical with the eksploitation of one class by the other, the dominant class being essentially the eksploiting class (Kelsen, 1955:1). Terjemahan bebas: Merupakan kebutuhan negara, bahwa suatu organisasi dari kelas yang melakukan eksploitasi; untuk menjaga kondisi eksternal produksi, terutama dalam upaya mereka untuk bertahan dengan cara pemaksaan terhadap kelas yang tereksploitasi. Dominasi suatu kelas terhadap kelas lainnya dalam urusan negara, identik dengan eksploitasi suatu kelas terhadap kelas lainnya, di mana kelas dominan akan menjadi kelas yang mengeksploitasi.
Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa negara dan hukum saling berhubungan. Marx mengasumsikan negara dan hukum sebagai:
The law as coercive order and specific instrument of the state exists only in a society divided into two classes, a dominant exploiting and a dominated exploited class (Kelsen, 1955:34). Terjemahan bebas: Hukum merupakan aturan keras. Ia merupakan instrumen negara. Instrumen ini hanya dapat eksis dalam masyarakat yang terbagi dalam dua kelas: yaitu kelas yang mendominasi dengan kelas yang didominasi.
Mengamati uraian di atas, tidak mengherankan jika pengadilan kriminal yang merupakan operasionalisasi dari hukum, berlaku tidak seimbang dan hanya mementingkan golongan-golongan tertentu. Tentang hal ini, Robert Lefcourt menyatakan bahwa pengadilan kriminal telah menciptakan pola hukum selektif yang tidak seimbang yang mana kelas atas dan warga kulit putih adalah mereka yang selalu mendapat keuntungan. Lebih tegas Lefcourt menyebutkan bahwa sebelum kalangan atas akan diadili. Pada saat pra pengadilan, tuntutan hukum diselesaikannya melalui dua cara: yaitu uang jaminan dan pernyataan bersalah. Secara terang-terangan teknik ini dilakukan melalui kerjasama antara pejabat hukum seperti hakim, jaksa dan pembela. Di Washington D.C., 90% orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang dari 5.000 dollar. Warga kulit hitam mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan warga kulit putih yang menjadi terdakwa (Lefcourt, 1966: 21-22).
Sebuah penelitian yang dilakukan pada sebuah negara di Barat menunjukan bahwa di antara pihak-pihak pelaksana hukum yang saling bertentangan (seperti jaksa dan pembela), sebelumnya telah menjalin kerjasama untuk menyelamatkan tertuduh.
That the experiment could take place at all demonstrates the overt cooperation between supposedly opposing forces (Lefcourt, 1966:29).
Itulah yang terjadi ketika yang menjadi tertuduh adalah orang kaya raya. Survey yang dilakukan di New York menunjukan bahwa, warga miskin dan warga bukan kulit putih secara proporsional memiliki tingkat penangkapan yang tinggi dari seluruh populasi. Mereka juga akan lebih lama dipenjara setelah ditangkap. Jika penjahat tidak mengeluarkan sejumlah uang pada hakim, maka ia akan tetap berada di penjara. Suatu studi yang membahas praktik-praktik uang jaminan menemukan bahwa sebanyak 25 persen dari seluruh penjahat yang berada di penjara adalah mereka yang gagal memberikan uang jaminan sebanyak 500 dollar. 45 persen adalah narapidana yang tidak mampu membayar 1.500 dolar, sisanya sebanyak 63 persen adalah mereka yang tidak mampu membayar 2.500 dollar. Keterangan ini disebutkan Lefcourt sebagai berikut:
The poor and nonwhite, arrested at a proportionally higher than the rest of the population, are more likely to be jailed after arrest because of the court practice of imposing monetary bail. If the defendant cannot post the amount set by a judge or give a bail bondsman security to post it for him, he ramains in jail. One study of New York bail practice indicates the extent to which the courts tend to incarcerate the innocent prior trial: Twenty-five percent of all defendants in this study failed to make bail at 500 dollars, forty-five percent failed at 1.500 percent, and sixty-three percent at 2.500 dollars (Lefcourt, 1966:26).
Menurut Turk dalam buku Sociology of Law:
The availability of legal resources is in self an impetus to social conflict, because conflicting or potentially complicting parties cannot risk the possible costs of noit having the law—or at least some law—on their side (Turk, 1950: 111). Terjemahan bebas: tersedianya sumber-sumber hukum itu sendiri dapat mendorong terjadinya konflik sosial. Karena itu orang-orang yang potensial konflik, tidak akan beresiko mengeluarkan biaya, jika hukum tidak berada di tangan mereka.  
Keneddy secara terang-terangan mengatakan bahwa sistem peradilan sekarang tak ubahnya seperti rumah bordil. Hal ini dikemukakan dalam teorinya yang berjudul The Whorehouse Theory of Law (Keneddy, 1970: 82-89). Ia mengatakan bahwa masyarakat (orang kaya) diumpamakannya sebagai pelacur, sedangkan profesi hukumnya diumpamakan rumah bordir. Siswa hukum, tidak hanya diajari bagaimana dia menempatkan sisi hukum  pada  sisi  kemanusiaan,  namun  juga  diajari  bagaimana  ia  berfikir tentang uang, kekuatan dan hukum. Di pihak lain, klien pun, sebagai pelacur, ingin mendapat pelayanan terbaik dari rumah bordir, tentunya dengan iming-iming uang banyak.



Fakta Sosial Hukum di Indonesia
Lembaga yang Membuat
Kembali pada teorinya Marx berkaitan dengan siapa yang membuat hukum. Marx menyebutkan produk hukum dibuat oleh negara. Di Indonesia, lembaga yang mempunyai kewenangan sebagai pembuat hukum adalah DPR (state).  Ideal tidaknya hukum, sangat bergantung pada komitmen DPR itu sendiri. Kalau DPR dipengaruhi oleh pihak yang mempunyai alat produksi (konglomerat atau pemilik modal), produk hukum yang dihasilkan cenderung akan mengikuti keinginan pihak yang memiliki modal. Agar DPR mampu membuat hukum yang mengakomodir kepentingan orang banyak, maka mereka (DPR) tidak boleh terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal. DPR harus fair dalam membuat kebijakan hukum. Tentunya, mereka harus lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan-kepentingan sepihak.
Lembaga Pelaksana Hukum
Lembaga yang berwenang sebagai pelaksana hukum di Indonesia adalah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Sistem ini terdiri dari lima komponen, yakni kepolisian, jaksa, hakim, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana inilah yang kemudian memiliki tugas sebagai pelaksana hukum yang dibuat oleh negara.
Fakta Sosial
Kalau DPR sebagai pembuat hukum masih bisa dipengaruhi oleh kaum pengusaha, maka produk hukum yang mereka keluarkan akan negatif bagi masyarakat. Produk hukum yang mereka buat lebih mendukung pihak yang menguasai alat produksi. Kalau yang mempunyai saham itu kemudian menyodok atau KKN terhadap negara, maka produk hukum pun akan lebih mendorong kepentinganpemegang saham. Di pihak lain, UMR menjadi rendah, gaji buruh memperihatinkan, tempat kerja tidak layak, dan pemerintah tetap mengeksklusikan (tidak memberi perhatian) kaum buruh.
Realitas kondisi money politik, korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda Indonesia, sehingga negara ini merupakan salah satu negara terkorup di dunia, menunjukan bukti bahwa ternyata state (dalam hal ini DPR) masih memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan sepihak (orang yang berkuasa dan pemilik modal) daripada memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Dengan demikian hukumnya pun menjadi lebih subyektif bahkan makin memperkokoh orang berpengaruh untuk menguasai pihak yang dipengaruhi.
Jika ingin mengubah tatanan hukum yang ada, maka harus ada pressure dari rakyat terhadap DPR sebagai pembuat hukum. DPR dituntut agar bisa memposisikan diri sebagai pihak yang netral. Kalau perlu harus ada revolusi hukum besar-besaran terhadap DPR agar kesempatan mereka untuk melakukan KKN dapat diminimalisir. Lefcourt menyatakan legalitas hukum tidak hanya bergantung pada siapa yang berkuasa, namun juga tergantung pada intensitas perjuangan yang dilakukan oleh rakyat, yang mana hal demikian dapat mentransformasi hubungan hukum dengan rakyat:
Legality depends not only on who is powerful but also on the intensity of struggle by the people, which can transform legal relationship (Lefcourt, 1966: 34).







DAPTAR PUSTAKA



Kelsen, Hans
1955                                The Communist Theory of Law, In Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, New York: Frederick A. Praeger, Inc.
Keneddy, Floryence
1970                                  The Whorehouse Theory of Law, In Sociology of Law, London: Rotledge.
Peters, A.A.G., dan Koesriani, Siswosoebroto
1988                                Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan.

Ramly, Andi Mu’awiyah
2000                                Karl Marx, Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta: LkiS, Cetakan I.

Tittle, Charles R and Paternostes, Raymond
2000                 Marxian Conflict Theory, in Social Deviance An Organizational and Theoretical Approaches, California: Roxbury Publishing Company.
Turk,
1970                                  Law as weapon in Social Conflict, In Sociology of Law,  London: Rouledge.

Turner, Jonathan H.
1998                                The Rise of Conflict Theorizing, Sixth Edition, Belmont CA.: Wadsworth Publishing Company.
Turner, Jonathan H.; Beeghley, Leonard; Power, Charles H.
1995                                Marx Model of Stratification and Class Conflict, in The Emergency of Sociological Theory, Belmont CA.: Wadsworth Publishing Company.

Sekilas Penulis
Mahasiswa S3 Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana UI. Magister Sains Kriminologi Fisip UI. Praktisi Hukum di Jakarta. Menjadi anggota di berbagai asosiasi advokat di dalam dan luar negeri.

 



Alamat Kantor:

CHAIRIL ADJIS & PATNERS
Law Firm
Jl. Boulevard Bukit Gading Raya Blok A2 No. 8 Jakarta 14240-INDONESIA
Telp.(021) 450 9282 Fax. 450 9283
E-mail: caplawfirm@hotmail.com























ABSTRAK

Ideally, law capable to contribute social order in human life. Law have centre role as well in conflict mediating and solving. But the situation to be different if the objectivity of law is contaminated by subjective interest, where the law is not seen as contributor for social order, but raises as conflict resistence. According to Marx, such resistence caused by authority intervention. Ideal Law is independence law from authority intervention and stand on public side. As the case sample for conflict and law writing, author explores empirical realities in Indonesia.













HUKUM DAN KONFLIK
Tinjauan Sosiologis Kriminologis dan Kasus di Indonesia
Oleh: Chairil A Adjis, SH., M.Si.

 

Pengantar

Uraian mengenai konflik banyak ditemukan dalam karya Marx. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemikiran utama Marx salah satunya adalah determinisme ekonomi. Determinisme ini sangat terkait dengan konflik. Ada dua pihak dalam kategori Marx yang berseteru selamanya dan tidak pernah akan berakhir. Yang pertama berasal dari kaum yang menguasai dan yang kedua berasal dari kaum yang dikuasai. Dalam perspektif Marx, kelompok yang menguasai disebut sebagai golongan borjuis sedangkan kelompok yang dikuasai adalah golongan proletar. Kedua kubu ini, digambarkan oleh Marx sebagai dua kelompok yang terus menerus diwarnai konflik.
Tetapi ada satu hal yang tidak dibahas oleh Marx, yakni dia tidak melihat bahwa sebenarnya ada lembaga sosial yang tidak bisa berfungsi karena konflik. Padahal lembaga sosial tersebut dapat dipandang mampu untuk meredam konflik. Inilah yang dilupakan dalam pemikiran Marx. Konsentrasi pemikiran Marx terpaku hanya pada pembahasan mengenai kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai, tanpa mampu membahas lebih jauh bahwa masih ada lembaga sosial lain yang mampu meredam konflik di antara dua kubu yang bertikai.
Menurut Marx, setiap bentuk sosial terdiri dari tingkatan-tingkatan (struktur) objektif dan pada akhirnya hanya tinggal satu tingkat yang mempengaruhi dan mendominasi tingkat lain yang disebut dengan faktor ekonomi[1]. Berkenaan dengan hal itu, Marx mempunyai pemikiran, bahwa masyarakat itu terbagi ke dalam dua struktur. Struktur pertama, adalah infrastruktur (lapisan bawah). Struktur kedua, adalah superstruktur (lapisan atas). Infrastruktur adalah ekonomi itu sendiri, yang merupakan motor kehidupan masyarakat atau inti yang menentukan kehidupan masyarakat. Sedangkan superstruktur bersifat gagasan seperti politik, hukum, atau ilmu pengetahuan. Superstruktur merupakan kristalisasi atau pencerminan dari infrastruktur.
Marx menulis dalam bukunya A Contribution to The Critique of Political Economy:
It is not the consiousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines their conciousness.[2]
Arti dari man’s conciousness diartikan sebagai kesadaran manusia dalam bidang hukum, politik, filsafat, moral dan agama serta bidang-bidang lain yang terdapat dalam kebudayaan manusia. Sedangkan makna man’s social being diartikan sebagai faktor ekonomi. Faktor ini kemudian didukung oleh dua unsur pokok yaitu kekuatan-kekuatan produksi (forces of production) dan hubungan-hubungan produksi (relation of production).
Analisis yang terkandung dalam wawasan ini adalah, kehidupan sosial ekonomi (man social being) ditempatkan sebagai perangkat yang mendasari setiap kiprah kesadaran manusia (man social consciousness). Dengan lain kata, faktor materi selalu menjadi penentu, sedang faktor kesadaran harus ditentukan oleh kondisi material yang tercipta.

Determinisme Ekonomi

Jika ekonomi dipandang sebagai infrastruktur, maka ekonomi menjadi hal yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Ekonomi menjadi segalanya bagi manusia. Faktor ekonomi-lah yang nantinya akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan sosial. Termasuk di dalamnya adalah superstruktur, seperti hukum, ideologi, agama, politik, atau budaya. Dengan demikian, jika infrastrukturnya hancur, maka superstrukturnya pun akan ikut runtuh.
Inilah yang ditekankan Marx yang disebut dengan determinisme ekonomi. Menurut dia faktor satu-satunya yang mempengaruhi kehidupan ini adalah ekonomi[3]. Sedangkan yang lainnya termasuk hukum, merupakan superstruktur yang bisa saja dipengaruhi oleh infrastruktur. Meski demikian, menurut Marx, tidak semuanya hukum itu dipengaruhi oleh ekonomi. Contohnya adalah Hukum Waris, yang menurutnya hukum waris ini mempunyai fungsi sebagai pemberdayaan sosial.

Hukum dan Konflik

Diakui bahwa teori Marx ini dianggap sebagai teori yang radikal dan kritis. Untuk beberapa hal banyak mengandung nilai politis, namun disadari pula bahwa teori Marx ini seringkali menjadi sumber dalam beberapa studi kasus dan analisa sejarah[4]. Teori Marx ini didesain untuk mengekspos sifat jahat masyarakat kapitalis[5]. Bonger (1916) seorang kriminolog mengakui bahwa, penyimpangan lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang menganut sistem ekonomi kapitalis, kecenderungannya lebih tinggi daripada masyarakat sosialis. Yang mendorong masyarakat kapitalis sering terlibat konflik, karena di sana ada motif meraih keuntungan. Di samping itu masyarakat kapitalis mempunyai sifat demoralisasi, yakni tidak memiliki perasaan moral dan simpati terhadap orang lain[6]. Oleh sebab itulah variabel yang senantiasa ikut serta dalam faham kapitalisme adalah persaingan dan kerugian. Jika mereka (kapitalis) ingin berkompetisi memperoleh keuntungan di bidang ekonomi, mereka harus mampu menekan rasa simpati mereka terhadap para pesaingnya. Hasilnya menurut Bonger, tanpa bisa dihindari akan banyak orang yang mengalami kesulitan. Dari sana lahirlah perilaku egois dari masyarakat yang tertekan, untuk  menjalani perjuangan mencapai kebahagiaan hidup.

Ciri Mendasar Konflik Menurut Marx

Ada dua ciri mendasar mengenai konflik menurut Marx, yakni:
3.      Adanya Struktur Masyarakat yang Mempengaruhi dan yang Dipengaruhi
Kondisi sosial yang saling mempengaruhi dapat menimbulkan konflik. Sebab pada intinya, hampir semua orang berkeinginan untuk menguasai antara satu dengan yang lainnya[7]. Kondisi demikian dapat menentukan, siapa yang kuat maka dia akan menguasai orang. Siapa yang mempunyai alat produksi maka dia bisa menguasai pihak lain. Kondisi demikian, kurang menguntungkan pihak proletariat sebagai pihak yang dipengaruhi sehingga memicu terjadinya “perjuangan kelas”.
4.      Adanya pola hubungan
Pola hubungannya, adalah pihak yang mempengaruhi (borjuis) adalah determinan untuk menguasai pihak yang dipengaruhi (proletar). Selama ada yang berkuasa dengan yang dikuasai, selama itu konflik akan terjadi. Menurut Marx seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa konflik itu akan terjadi selamanya. Konflik terjadi disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi[8]. Jadi siapa yang mempengaruhi dialah yang menguasai, dan siapa yang dipengaruhi, maka dia akan dikuasai.
Yang diusulkan Marx dalam menyikapi hal-hal seperti ini adalah, harus dibuat hukum yang mengatur agar kondisi menguasai dan dikuasai dirubah menjadi menjadi kondisi “kesamaan”, yakni sama rata dan sama derajat. Sebab jika tidak, maka konflik akan terjadi selamanya. Kondisi sosial senantiasa akan diwarnai ketimpangan dan diskriminasi sebagai konsekuensi antara yang dikuasai dan yang menguasai.
Pelaksanaan dari hukum seperti itu—yakni adanya kesamaan antara satu sama lainnya—dengan sendirinya tidak akan ada lagi alat-alat produksi yang dipegang dan dimiliki oleh pihak yang menguasai, seperti halnya kaum borjuis. Umpamanya bidang ekonomi, itu tidak boleh dikuasai oleh salah seorang, tetapi harus dipegang oleh negara. Oleh negara kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat menikmati dan memiliki.  Contoh  lainnya seperti hutan, hutan harus dikuasai oleh negara yang hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat banyak oleh masyarakat umum.
Pelaksanaan dari hukum ini agar tidak menindas menurut Marx adalah: pemilikan tanah harus bersifat komunal. Meski demikian penggarapan tanah dilakukan sendiri-sendiri, dan tanah yang digarapnya adalah tanah milik komunal. Intinya, kepemilikan adalah milik bersama. Penggarapannya dilakukan terbagi-bagi[9]. Dengan demikian, semuanya bisa merasakan kebersamaan hak dan derajat.
Untuk memperbaiki realitas seperti ini—menurut Marx—golongan proletariat harus mengadakan pressure, dalam istilah Marx disebut sebagai Revolusi Proletariat. Revolusi ini mempunyai tujuan membentuk masyarakat sosialis. Dengan revolusi, nasib pihak yang dikuasai (proletariat) tidak lagi dieksploitasi untuk memproduksi barang-barang produksi dengan gaji yang tidak seimbang[10]. Tereksploitasinya proletar merupakan akar masalah sehingga konflik kemudian sering terjadi.
Masyarakat sosialis dipahami Marx, sebagai masyarakat yang mengakui bahwa sistem kepemilikan produksi disandarkan pada hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia dalam mencapai harkatnya tanpa penindasan. Dengan kata lain, sosialis merupakan sebuah sistem yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.
Inilah sebetulnya idealisme Marx. Ia menginginkan sebuah masyarakat tanpa kelas. Marx mempunyai visi khayalan tentang masyarakat kelas, dimana orang-orang mampu bertindak kooperatif untuk barang-barang yang sifatnya umum. Marx percaya bahwa tujuan tersebut dapat tercapai melalui sentralisasi kekuatan politik di tangan negara.
Marx had a uthopian vision of classless society within which people acted cooperatively for the common goog and, in the process, realized their human potential. Paradoxally, he believed that this goal could be achieved through the centralization of political power in the hands of the state[11].
Proposisi Marx Tentang Proses Konflik
Dalam buku Conflict Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict Theorizing. Disebutkan bahwa, terdapat beberapa proposisi berkaitan dengan proses konflik menurut Marx[12]. Masing-masing proposisi yang diajukan berbunyi sebagai berikut:
VIII.      Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya, maka akan semakin besar konflik yang terjadi antara kelas atas (borjuis) dengan kelas bawah (proletar). (Terjemah bebas dari, “The more unequal is the distribution of scarce resources in a society, the greater is the basic of interest between its dominant and subordinate segments”)
Pada proposisi ini Marx berargumentasi bahwa, ketidak-seimbangan dalam distribusi sumber daya, akan memunculkan “konflik kepentingan”.
IX. Semakin kelas bawah menyadari bahwa, mereka harus mementingkan kebutuhan mereka yang sesungguhnya, maka akan semakin sering mereka mempertanyakan legitimasi sumber daya yang dimiliki kalangan atas (Terjemah bebas dari, “The more subordinate segments became aware of their true collective interest, the more likely they are to question the legitimacy of the existing pattern of distribution of scarce resources”)
Anggota kelas yang lebih rendah menjadi sadar akan kepentingan mereka yang sesungguhnya, bahwa mereka diperas, dieksploitasi dan dirugikan dalam keuntungan produksi. Kenyataan demikian menumbuhkan tanda tanya diantara mereka mengenai produksi yang hanya dikuasai kalangan atas.
   X. Masyarakat kelas bawah akan lebih sadar terhadap kepentingan mereka (“Subordinates are more likely to become aware of their true collective interest”), ketika:
A.    Perubahan yang dibuat oleh pihak yang dominan (kelas atas), dianggap mengganggu kepentingan kelas bawah (Terjemah dari “Changes wrought by dominant segments disrupt existing relations emong subordinates”).
B.     Praktik-praktik kelas atas menciptakan keterasingan pada masyarakat kelas bawah (Terjemah dari “Practice of dominant segments create alienatif dispositions”).
C.     Setiap individu yang berada di kelas bawah saling mengkomunikasikan kesengsaraan mereka pada rekannya yang lain (Terjemah bebas dari, “Members of subordinate segments can communicate their grievances to one another which, in turn, is facilitated by”), yang difasilitasi oleh:
1.      Konsentrasi ekologi di antara kelompok kelas bawah (“The ecological contrentation among members of subordinate groups”).
2.      Ekspansi kesempatan pendidikan untuk anggota kelompok bawah (“The expansion of educational opportunities for members of subordinate groups”).
D.    Segmen kelas bawah dapat mengembangkan ideologi pemersatu (“Subordinate segments can develop unifying ideologis, which, in turn, is facilitated by”), yang difasilitasi oleh:
1.      Kapasitas untuk merekrut juru bicara ideologi (“The capacity to recruit or generate ideological spokespeople”).
2.      Ketidak-mampuan kelompok dominan untuk meregulasi proses-proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di antara anggota kelas bawah (“The inability of dominant groups to regulate socialization process and communication networks among subordinates”).
Pada proposisi ketiga, secara berturut-turut berisikan kekacauan yang terjadi pada saat kelas bawah menyusun kekuatan ideologi secara internal.
XI. Semakin sering kelas bawah menyadari kepentingan mereka dan mempertanyakan legitimasi distribusi sumber daya, maka akan semakin sering mereka terlibat dalam konflik untuk melawan kelas atas (Terjemah bebas dari,The more that subordinate segments of a system become aware of their collective interests and question the legitimacy of the distribution of scarce resources, the more likely they are to join in overt conflict against dominant segments of a system), khususnya ketika:
A.    Kelompok dominan tidak mampu mengartikulasikan kepentingan mereka dengan rasional (Terjemah bebas dari, Dominant group cannot clearly articulate, not act in, their collective interests).
B.     Menurunnya aturan absolut yang mengungkung kelas bawah, digantikan oleh aturan relatif yang bergerak secara cepat (Terjemah bebas dari,Deprivations of subordinate move from an absolute to a relative basis, or escalate rapidly).
C.     Kelompok bawah mampu membentuk struktur kepemimpinan politik (Subordinate groups can develop a political leadership structure).
Intensitas perlawanan kelas akan tumbuh ketika kelas bawah menyadari “kepentingan” mereka dan “mempertanyakan” keabsahan surplus produksi yang mana mereka berperan besar di dalamnya.
XII.      Makin kuat pemersatu ideologi dan berkembangnya struktur kepemimpinan kelas bawah, maka semakin besar kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yang terpolarisasi (The greater is the ideological unification of members of subordinate segments of a system and the more developed is their political leadership structure, the more likely are the interests and relations between dominant and subjugated segments of society to become polarized and irreconcilable).
Marx dalam proposisi kelima menekankan bahwa sekali saja kelompok yang ditindas memiliki ideologi pemersatu dan pemimpin politik, maka kepentingan mereka dengan sendirinya akan fokus. Perlawanan terhadap kelas atas mulai meningkat. Ketika polarisasi meningkat, maka kemungkinan akan adanya proses rekonsiliasi, kompromi atau konflik akan menurun.
XIII.      Makin besar polarisasi, makin besar konflik yang menjadi kekerasan (The more polarized are the dominant and subjugated, the more will the conflict be violent).
Proposisi keenam menggaris-bawahi bahwa, masyarakat kelas bawah mulai melakukan konfrontasi ketika kekerasan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Artinya Marx mencatat bahwa, konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi sosial. Khususnya dalam distribusi sumber yang jarang diperoleh masyarakat kelas bawah.
XIV.    Makin keras konflik, makin besar perubahan di dalam masyarakat, dan makin besar pula distribusi kembali pada sumber daya (The more violent is the conflict, the greater is the mount of the structural change within a society and the greater is the redistribution of scarce resources).
Akhirnya, Marx menetapkan bahwa konflik kekerasan akan menyebabkan perubahan besar dalam pola organisasi sosial, khususnya di dalam “distribusi sumber daya” yang jarang diperoleh masyarakat kelas bawah.
Pandangan Marx terhadap Hukum
Ada tiga komponen yang menjadi bahan kajian Marx pada waktu itu. Ketiganya adalah proletariat, borjuis, dan state (negara). Yang membuat hukum adalah state. Idealnya hukum itu berfungsi untuk mengakomodir kepentingan rakyat. Tetapi kenyataannya—praksisnya—justru yang mempengaruhi state waktu itu adalah kaum borjuis, yaitu kaum yang memiliki alat produksi. Sehingga produk hukum yang dikeluarkan oleh negara waktu itu, lebih cenderung memihak kaum borjuis, tidak memihak pada rakyat. Inginnya Marx, negara mampu membuat hukum yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Marx menginginkan hukum itu bisa memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan manusia. Karena dengan hukum, akan terjadi suatu ketertiban sosial. Artinya hukum dapat mengatur hubungan antara kaum borjuis dengan proletariat. Masyarakat pada umumnya, akan bisa berubah menjadi lebih baik jika hukum bisa menengahi atau menyelesaikan konflik waktu itu. Ketika konflik gencar terjadi waktu itu, harusnya yang menjadi media penyelesaiannya adalah hukum. Di samping itu, hukum dapat dianggap sebagai alat pemberdayaan. Pemberdayaan di sini merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak yang pada berbagai kondisi sering tertindas. Dengan demikian hukum harus berpihak pada proletariat agar mereka bisa mengalami perbaikan hidup.
Hukum yang ideal menurut Marx adalah yang tidak terintervensi oleh golongan kaum borjuis atau pihak yang berkuasa. Hanya saja masalahnya adalah, hukum sangat bergantung pada pihak yang membuatnya. Jika hukum dibuat oleh pihak yang berkuasa, maka hukum cenderung akan lebih memihak pihak yang berkuasa pada saat itu. Kita semua tahu bahwa pada waktu Marx hidup, yang menjadi penguasa di Jerman saat itu adalah mereka yang menerima banyak sokongan dana dari kaum borjuis, sehingga negara sebagai pembuat hukum pun, akhirnya lebih memihak kaum bourjuis daripada kaum proletar yang sebenarnya sangat tertindas waktu itu. 
Pembuat kebijakan hukum yang terkontaminasi oleh kaum borjuis, maka produk hukumnya pun akan memproteksi atau menyokong kepentingan kaum borjuis. Demikian demikian, hukum sangat bergantung pada siapa yang membuat kebijakan. Untuk merubah kondisi hukum seperti ini. Marx mempunyai cara untuk menanggulanginya, yaitu melalui gerakan revolusi. Inilah tawaran satu-satunya Marx, yang kemudian dinamakan dengan revolusi proletariat.
Idealnya hukum mewakili keterwakilan dari setiap segi kepentingan khususnya kepentingan rakyat. Menurut Lefcourt adalah terwakili secara demokrasi. Ia melihat bahwa sepatutnya hukum itu merupakan proses take and give. Semua kelompok mempunyai daya tawar dan kesempatan yang sama, bisa saling kompromi, tawar menawar atau bahkan bisa saling menekan dan saling mengontrol[13]. Di pihak lain, pejabat publik dan pembuat hukum mampu merespon tekanan yang muncul dari kelompok tersebut, dengan demikian kelak, tidak akan ada lagi kelompok dalam bidang ekonomi, yang akan mendominasi. Masyarakat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang segera akan mereka lakukan, seperti: pegawai akan memeriksa bisnis mereka, petani akan melihat urbanisasi dan siswa akan memeriksa petugas administrasi.
…..They (American social scientists) depict a society in which widely varied groups compete with each other, in which decision-makin rests on give-and take among various groups. Groups compromise, make deals, and preassure each other; public officials nad law-makers respond to these various group pressures so that  no one……economy…….group will dominate. This creates the “natural” system of checks and balances which maintains a democracy. People become part of the decision-making process as soon as they organize: as big labor checks big business,……….., farmers check urbinities, students chek school administrators[14].
Kenyataan dimana negara seringkali dipengaruhi oleh kalangan pemegang modal, sebetulnya terjadi juga pada negara kita sekarang. Pembuat kebijakan hukum dalam hal ini adalah negara, seringkali terkontaminasi atau terintervensi oleh orang-orang yang mempunyai dana besar (pengusaha, konglomerat atau investor). Sebagai akibatnya, produk hukum yang seharusnya berpihak pada orang banyak, disalahgunakan menjadi hukum yang berpihak pada segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi. Contoh konkrit, pengusaha, orang-orang kaya, atau konglomerat yang korup, seringkali tidak diproses lebih lanjut di pengadilan. Apa sebabnya, pengadilan telah diintervensi oleh pihak yang mempunyai modal dan kekuasaan. Hukum pun menjadi sangat tergantung pada siapa yang berkuasa.
Hukum untuk Kaum Borjuis
Hans Kelsen dalam tulisannya berjudul Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, menyebutkan bahwa Marx memandang negara dan hukum sebagai mesin yang sifatnya memaksa, yang mana dengan kehadirannya, eksploitasi yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya terus berlangsung. Instrumen yang digunakan kelas dominan (kelas atas, borjuis) untuk melakukan eksploitasi adalah, negara dan hukum. Secara politis sebenarnya penguasa (negara) merupakan bagian dari kelompok dominan, hal ini dinyatakan:
The state together with its law is the coercive machinery for the maintenance of exploitation of one class by the other, an instrument of the class of exploiters which, through the state and its law, becomes the politically dominant class[15]

Sebetulnya dalam pandangan Marx, negara (state) merupakan suatu kekuatan mapan yang dapat menjaga konflik antar antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Agar bisa menjaga keharmonisan, diperlukan sebuah “aturan yang mengikat” (within the bonds of order, this order is the law[16]) yang kemudian aturan itu dinamakan hukum.
  Hans Kelsen juga berpendapat bahwa hukum mempunyai hubungan erat dengan negara. Ia menyebut negara sebagai tempat di mana kelas borjuis, di samping mampu mengatur ekonomi, juga mampu mengatur politik agar posisinya sebagai pemegang produksi dapat dipertahankan dengan cara ,melakukan eksploitasi terhadap kelas proletar. Artinya kelas borjuis mampu memposisikan diri seorang politis, di samping sebagai kaum kapitalis. Di sini Engels mengatakan:
Needs the state, that means an organisation of the exploiting class for maintaining the external conditions of its production, especially for holding down by force the exploited class. The dominance of one class over the other, which is the essence of the state, is identical with the eksploitation of one class by the other, the dominant class being essentially the eksploiting class[17] (adalah merupakan kebutuhan negara, bahwa suatu organisasi dari kelas yang melakukan eksploitasi; untuk menjaga kondisi eksternal produksi, terutama dalam upaya mereka untuk bertahan dengan cara pemaksaan terhadap kelas yang tereksploitasi. Dominasi suatu kelas terhadap kelas lainnya dalam urusan negara, identik dengan eksploitasi suatu kelas terhadap kelas lainnya, di mana kelas dominan akan menjadi kelas yang mengeksploitasi.
Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa negara dan hukum saling berhubungan. Marx mengasumsikan negara dan hukum sebagai:
Hukum merupakan aturan keras. Ia merupakan instrumen negara. Instrumen ini hanya dapat eksis dalam masyarakat yang terbagi dalam dua kelas: yaitu kelas yang mendominasi dengan kelas yang didominasi (the law as coercive order and specific instrument of the state exists only in a society divided into two classes, a dominant exploiting and a dominated exploited class)[18].
Melihat uraian di atas, tidak mengherankan jika pengadilan kriminal yang merupakan operasionalisasi dari hukum, berlaku tidak seimbang dan hanya mementingkan golongan-golongan tertentu. Tentang hal ini, Robert Lefcourt menyatakan bahwa pengadilan kriminal (criminal courts) telah menciptakan pola hukum selektif yang tidak seimbang yang mana kelas atas dan warga kulit putih adalah mereka yang selalu mendapat keuntungan, are the beneficiaries[19]. Lebih tegas Lefcourt menyebutkan bahwa sebelum kalangan atas akan diadili. Pada saat pra pengadilan, tuntutan hukum diselesaikannya melalui dua cara: yaitu uang jaminan dan pernyataan bersalah. Secara terang-terangan teknik ini dilakukan melalui kerjasama antara pejabat hukum seperti hakim, jaksa dan pembela, less blatant than these techniques is the cooperation among officials[20]. Di Washington D.C., 90% orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang dari 5.000 dollar. Warga kulit hitam mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan warga kulit putih yang menjadi terdakwa[21].
Sebuah penelitian yang dilakukan pada sebuah negara di Barat menunjukan bahwa di antara pihak-pihak pelaksana hukum yang saling bertentangan (seperti jaksa dan pembela), sebelumnya telah menjalin kerjasama untuk menyelamatkan tertuduh.
That the experiment could take place at all demonstrates the overt cooperation between supposedly opposing forces[22].
Itulah yang terjadi ketika yang menjadi tertuduh adalah orang kaya raya. Survey yang dilakukan di New York menunjukan bahwa, warga miskin dan warga bukan kulit putih secara proporsional memiliki tingkat penangkapan yang tinggi dari seluruh populasi. Mereka juga akan lebih lama dipenjara setelah ditangkap. Jika penjahat tidak mengeluarkan sejumlah uang pada hakim, maka ia akan tetap berada di penjara. Suatu studi yang membahas praktik-praktik uang jaminan menemukan bahwa sebanyak 25 persen dari seluruh penjahat yang berada di penjara adalah mereka yang gagal memberikan uang jaminan sebanyak 500 dollar. 45 persen adalah narapidana yang tidak mampu membayar 1.500 dolar, sisanya sebanyak 63 persen adalah mereka yang tidak mampu membayar 2.500 dollar. Keterangan ini disebutkan Lefcourt sebagai berikut:
The poor and nonwhite, arrested at a proportionally higher than the rest of the population, are more likely to be jailed after arrest because of the court practice of imposing monetary bail. If the defendant cannot post the amount set by a judge or give a bail bondsman security to post it for him, he ramains in jail. One study of New York bail practice indicates the extent to which the courts tend to incarcerate the innocent prior trial: Twenty-five percent of all defendants in this study failed to make bail at 500 dollars, forty-five percent failed at 1.500 percent, and sixty-three percent at 2.500 dollars[23].
Menurut Turk dalam buku Sociology of Law:
The availability of legal resources is in self an impetus to social conflict, because conflicting or potentially complicting parties cannot risk the possible costs of noit having the law—or at least some law—on their side (terjemah: tersedianya sumber-sumber hukum itu sendiri dapat mendorong terjadinya konflik sosial. Karena itu orang-orang yang potensial konflik, tidak akan beresiko mengeluarkan biaya, jika hukum tidak berada di tangan mereka) [24].
Keneddy dengan terang-terangan mengatakan bahwa sistem peradilan sekarang tak ubahnya seperti rumah bordil. Hal ini dikemukakan dalam teorinya yang berjudul The Whorehouse Theory of Law[25]. Ia mengatakan bahwa masyarakat (orang kaya) diumpamakannya sebagai pelacur, sedangkan profesi hukumnya diumpamakan rumah bordir[26]. Siswa hukum, tidak hanya diajari bagaimana dia menempatkan sisi hukum  pada  sisi  kemanusiaan,  namun  juga  diajari  bagaimana  ia  berfikir tentang uang, kekuatan dan hukum[27]. Di pihak lain, klien pun, sebagai pelacur, ingin mendapat pelayanan terbaik dari rumah bordir, tentunya dengan iming-iming uang banyak.
Fakta Sosial Hukum di Indonesia
Lembaga yang Membuat
Kembali pada teorinya Marx berkaitan dengan siapa yang membuat hukum. Marx menyebutkan produk hukum dibuat oleh negara. Di Indonesia, lembaga yang mempunyai kewenangan sebagai pembuat hukum adalah DPR (state).  Ideal tidaknya hukum, sangat bergantung pada komitmen DPR itu sendiri. Kalau DPR dipengaruhi oleh pihak yang mempunyai alat produksi (konglomerat atau pemilik modal), produk hukum yang dihasilkan cenderung akan mengikuti keinginan pihak yang memiliki modal. Agar DPR mampu membuat hukum yang mengakomodir kepentingan orang banyak, maka mereka (DPR) tidak boleh terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal. DPR harus fair dalam membuat kebijakan hukum. Tentunya, mereka harus lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan-kepentingan sepihak.
Lembaga Pelaksana Hukum
Lembaga yang berwenang sebagai pelaksana hukum di Indonesia adalah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Sistem ini terdiri dari lima komponen, yakni kepolisian, jaksa, hakim, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana inilah yang kemudian memiliki tugas sebagai pelaksana hukum yang dibuat oleh negara.
Fakta Sosial
Kalau DPR sebagai pembuat hukum masih bisa dipengaruhi oleh kaum pengusaha, maka produk hukum yang mereka keluarkan akan negatif bagi masyarakat. Produk hukum yang mereka buat lebih mendukung pihak yang menguasai alat produksi. Kalau yang mempunyai saham itu kemudian menyodok atau KKN terhadap negara, maka produk hukum pun akan lebih mendorong kepentinganpemegang saham. Di pihak lain, UMR menjadi rendah, gaji buruh memperihatinkan, tempat kerja tidak layak, dan pemerintah tetap mengeksklusikan (tidak memberi perhatian) kaum buruh.
Realitas kondisi money politik, korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda Indonesia, sehingga negara ini merupakan salah satu negara terkorup di dunia, menunjukan bukti bahwa ternyata state (dalam hal ini DPR) masih memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan kepentingan sepihak (orang yang berkuasa dan pemilik modal) daripada memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Dengan demikian hukumnya pun menjadi lebih subyektif bahkan makin memperkokoh orang berpengaruh untuk menguasai pihak yang dipengaruhi.
Jika ingin mengubah tatanan hukum yang ada, maka harus ada pressure dari rakyat terhadap DPR sebagai pembuat hukum. DPR dituntut agar bisa memposisikan diri sebagai pihak yang netral. Kalau perlu harus ada revolusi hukum besar-besaran terhadap DPR agar kesempatan mereka untuk melakukan KKN dapat diminimalisir. Lefcourt menyatakan legalitas hukum tidak hanya bergantung pada siapa yang berkuasa, namun juga tergantung pada intensitas perjuangan yang dilakukan oleh rakyat, yang mana hal demikian dapat mentransformasi hubungan hukum dengan rakyat:
Legality depends not only on who is powerful but also on the intensity of struggle by the people, which can transform legal relationship[28].
Apakah Pembagian Kelas borjuis dan Proletar sesuai untuk di Indonesia
Pembagian kelas seperti yang diungkapkan Marx di atas, kurang cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia tidak didominasi oleh pengusaha dan buruh. Menurut penulis, situasi sosial-lah yang menyebabkan Indonesia menjadi kurang cocok untuk dibagi menjadi dua kelas (yaitu borjuis dan proletar). Tempat kelahiran Marx adalah Jerman, dan Jerman merupakan salah satu negara berbasiskan industri, hal ini telah berlangsung lama.
Lain halnya di Indonesia. Indonesia bukanlah negara industri yang mempekerjakan buruh.  Akan tetapi, Indonesia merupakan negara agraris, yang pemilik dan pekerjanya adalah para petani. Indonesia juga mempunyai banyak guru, PNS lainnya, tokoh agama, tokoh adat, mahasiswa, dan sebagainya. Jika melihat kondisi seperti itu, untuk membagi kelas sosial di Indonesia, bisa jadi pembagian kelasnya-pun akan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah dua kelasnya Marx. Misalnya kelas bawah, kelas agak bawah, menengah, dan sebagainya. Yang masing-masing kelas memiliki perbedaan, kekhasan dan kepentingan masing-masing.
Tetapi bukan berarti semua konsep Marx itu tidak cocok diterapkan di Indonesia. Banyak konsep Marx yang memiliki kecocokan dengan kondisi di negeri kita, khususnya yang berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia. Misalnya negara banyak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi para pengusaha, konglomerat. Contoh lainnya, subsidi untuk dunia perbankan yang notabene dimiliki oleh kalangan konglomerasi (borjuis) berjumlah ratusan trilyun, ternyata dipenuhi oleh negara. Negara begitu mudah disuap dan disogok. Korupsi meningkat tanpa mampu diselesaikan secara hukum. Di Indonesia, faktor ekonomi cukup sentral sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai setiap segi kehidupan manusia, termasuk keberadaan hukum itu sendiri. Inilah relevansinya, dengan teori Marx.

Mahasiswa di Indonesia: Proletar atau Borjuis

Di Indonesia, pressure terhadap hukumyang oleh Marx disebut revolusi—seringkali dilakukan oleh mahasiswa, masalahnya adalah apakah mahasiswa termasuk ke dalam kategori proletar atau borjuis. Di Indonesia, gerakan efektif untuk melakukan pressure terhadap negara dalam membuat hukum banyak dilakukan oleh pihak mahasiswa. Kita bisa melihat, otonomi daerah, pencabutan UU subversi, tindakan tegas terhadap koruptor, dan sebagainya, itu semua dilakukan oleh mahasiswa, bukan oleh buruh (proletar). Contoh yang paling kontras adalah runtuhnya rezim Orde Baru, yang seringkali membuat hukum yang mementingkan pihak tertentu, orang kaya, atau penguasa. Rezim ini berhasil diruntuhkan oleh mahasiswa.
Berkaitan dengan apakah mahasiswa berasal dari kelas borjuis atau buruh. Menurut penulis, mahasiswa bukanlah kelas proletariat. Bukan pula kelas borjuis. Menurut penulis, mahasiswa itu termasuk kelas menengah. Hanya saja, Marx di sini tidak mempunyai pandangan tentang adanya kelas menengah, dia hanya melihat masyarakat kepada dua kelas, kelas borjuis dan kelas proletar.
Satu hal yang menarik adalah, Karl Marx itu sendiri berasal dari kelas yang mana, apakah dia berasal dari kelas borjuis atau kelas proletar? Bahkan bisa jadi, Marx berasal dari kaum menengah. Untuk pembagian kelas seperti yang Marx kemukakan (tentang dua kelas), kelihatannya mahasiswa tidak masuk kemana-mana, baik itu ke kelas borjuis maupun pada kelas proletar. Mungkin saja Marx, dalam melihat posisi mahasiswa ini, tergantung pada sikap mahasiswa itu sendiri. Kalau mereka berpihak pada kaum borjuis, maka mahasiswa itu menjadi kaum borjuis. Kalau mahasiswa berpihak pada kaum proletar, maka mahasiswa dikatakan sebagai proletar. Akan tetapi menurut penulis, mahasiswa bukanlah kalangan borjuis, karena mereka bukan pengusaha, bukan pula proletar sebab mereka bukan buruh. Mereka adalah komunitas intelektual yang menyerukan moral dan supremasi hukum. Bukan kekayaan (borjuis) bukan pula untuk isi perut (proletar).

Hukum Indonesia dan Uang

Di Indonesia uang (modal) mempunyai peranan sangat besar dalam mempengaruhi hukum. Baik dalam lingkup “pembuatan kebijakan” atau “pelaksananan”nya di lapangan. Jika kita ingin melihat lebih sederhana tentang bagaimana praktik uang begitu berpengaruh terhadap hukum, kita cukup dengan memperhatikan realitas yang terjadi di “lapangan”.
Di lapangan, kita sering melihat khususnya di Indonesia. Bagaimana hukum bisa “dibeli” dengan uang. Seorang koruptor “ulung” yang menelan uang trilyunan rupiah, ternyata tak mampu dijerat hukum. Sebabnya adalah, yang bersangkutan telah terlebih dahulu menyuap peradilan dengan “uang”. Bahkan kasus dibunuhnya seorang hakim agung pun[29], yang seharusnya terdakwa dihukum mati atau dihukum seumur hidup, ternyata—dengan uang—peradilan di Indonesia masih bisa pengaruhi.
Kita mengakui sebetulnya berbicara “uang” adalah terlalu naif. Namun “benda” yang satu itulah yang sebetulnya telah membuat hukum di Indonesia benar-benar naif. Tidak heran jika—saking hinanya—peradilan kriminal sampai diberi gelar oleh Keneddy sebagai lokalisasi WTS (The Whorehouse), yang dengannya lahir sebuah teori, yakni The Whorehouse Theory of Law[30].
Di Indonesia hampir tidak ada penyimpangan (kejahatan) yang tidak bisa dibeli dengan “uang”. Dari mulai kejahatan ringan hingga kejahatan berat, semuanya bisa dibeli dengan uang. Menurut Floryence Keneddy, asalkan pelayanan hukum mampu memuaskan terhukum, maka terhukum akan membayar dan berlangganan pada profesi hukum yang bersangkutan, baik itu terhadap polisi, jaksa, hakim atau pengacara.
Sebetulnya kalau ada seseorang ingin meneliti apa penyebab mundurnya supremasi hukum di Indonesia. Jawabannya tak perlu susah, jelimet dan bertele-tele, jawabannya adalah satu yaitu “uang”. “Uang” yang membuat hukum di Indonesia menjadi tidak jelas misi dan visinya. Kita bisa lihat di jalan-jalan raya, bagaimana seorang polisi yang menilang pelanggar lalu lintas. Pelanggaran cukup diganti dengan uang di pinggir jalan. Kita juga melihat bagaimana seorang jaksa yang seharusnya menjadi satu-satunya yang menuntut terdakwa di pengadilan, juga luluh karena uang. Jaksa ikut-ikutan membantu terhukum[31]. Hakim pun demikian, ia menjatuhkan vonis setelah diberi sogok secukupnya. Hal yang sama pun menimpa pengacara, yang rela membela mati-matian terdakwa dengan pertimbangan agar komisi yang diterima dapat optimal.
Praktik-praktik semacam itu, membuat sebagian dari teorinya Marx tentang determinisme ekonomi kian tak terbantahkan. Ekonomi-lah (salah satunya “uang”) yang mempengaruhi superstruktur, termasuk di dalamnya hukum. Infrastruktur (ekonomi) yang mempengaruhi superstruktur (gagasan: politik, hukum, budaya, dan sebagainya). Bukan superstruktur yang mempengaruhi infrastruktur[32].

Endnote



[1] Ramly, Andi Mu’awiyah, Karl Marx, Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta: LkiS, Cetakan I, 2000, Halaman 80.
[2] I b i d, Halaman 82.
[3] Lain halnya menurut Weber, bahwa yang mempengaruhi kehidupan sosial itu ada tiga, pertama adalah privilige, prestise dan power. Privilige dapat berarti ekonomi, power berkaitan dengan politik, dan prestise berhubungan dengan budaya.
[4] The theories are usually regarded as radical, or critical, politically orientend manifestos, though often rooted in careful case studies and historical analysis (diambil dari buku Marxian Conflict Theory, halaman 431).
[5] I b i d
[6] He (Bonger) maintained that deviance is more likely in societis with capitalist economic systems than in those that are more socialistic, because the profit motive that underlies capitalism forcest most, if not all, people within those systems to become “de-moralized”, that is, to becaome devoid moral feelings and sympathy toward other people (diambil dari buku Marxian Conflict Theory, halaman 431-432)
[7] Kondisi ini dinamakan power. Power adalah suatu kondisi dimana seseorang harus bisa mengendalikan pihak lainnya.
[8] Yang mempengaruhi adalah golongan borjuis, yang dipengaruhi golongan proletariat
[9] Peters, A.A.G., dan Koesriani, Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan,1988, halaman 164
[10] Pihak yang seringkali dipengaruhi dan dieksploitasi menurut Marx adalah kaum buruh (proletar), sebab waktu itu kondisi sosialnya yang dominan adalah buruh dan pengusaha.
[11] Marx Model of Stratification and Class Conflict, dalam buku The Sociology of Karl Marx, Halaman 163.
[12] Conflict Theorizing, Chapter 11: The Rise of Conflict Theorizing, halaman 157.
[13] Warga miskin bisa melakukan kontrol pada yang kaya, dan sebaliknya. Warga status rendah bisa mengontrol negara, pun sebaliknya.
[14] Lefcourt, Rober, Op. Cit., Law Against The People, halaman 32.
[15] Kelsen, Hans, The Communist Theory of Law, pembahasan Conflict Theory, The Marx – Engels Theory of Law, New York: Frederick A. Praeger, Inc., 1955, halaman 1.
[16] I b i d.
[17] I b i d, halaman 1.
[18] I b i d, halaman 34.
[19] Lefcourt, Rober, Op. Cit., Law Against The People, halaman 21-22.
[20] I b i d, halaman 26.
[21] I b i d.
[22] I b i d, halaman 29.
[23] I b i d, halaman 26.
[24] Turk, Law as weapon in Social Conflict, dalam buku Sociology of Law, halaman 111.
[25] Keneddy, Floryence, The Whorehouse Theory of Law, dalam buku Sociology of Law, halaman 82-89.
[26] I b i d, halaman 81.
[27] I b i d, halaman 82
[28] Lefcourt, Op. cit., halaman 34.
[29] Kasus terbunuhnya Hakim Agung Syarifuddin Kartasasmita
[30] Keneddy, Floryence, Op. Cit., halaman 82-89
[31] Hal ini terjadi, misalnya dengan kasus yang menimpa seorang Jaksa Agung yang menjadi penasehat hukum salah seorang pengusaha di Jawa Timur.
[32] Meski (untuk membantah teori Marx) ekonomi dapat saja di bawah pengaruh institusi sosial lainnya. Hanya untuk kasus di Indonesia, akumulasi modal-lah yang mempengaruhi supremasi hukum.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar