PENYIMPANGAN DALAM DIVESTASI
INDOSAT
Government Crime
Chairil A Adjis
Dudi Akasyah
Penjualan aset negara
(BUMN) melalui divestasi yang terjadi di penghujung tahun 2002 memunculkan
kontroversi. Banyak aset-aset negara yang dilelang pada pihak asing. Alasan
divestasi adalah untuk mengurangi beban negara, di samping menambah APBN.
Divestasi dapat diterima,
sepanjang BUMN tersebut benar-benar merugikan dan membebani negara. Masalahnya
sekarang adalah, tidak semua aset negara tersebut merugikan. Masih banyak aset
negara yang menguntungkan atau paling tidak masih bisa diperbaiki kinerjanya.
Jika kondisi BUMN tersebut masih bisa ditolong. Apalagi menguntungkan. Maka
pemerintah tidak berhak untuk melakukan divestasi.
Yang menarik perhatian kita
adalah, divestasi PT. Indonesian Satellite Corp (PT. Indosat) pada
perusahaan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT). Sekarang, perusahaan Singapura ini, menguasai
mayoritas saham Indosat sebanyak 41,94 persen!
Yang mengundang
permasalahan adalah, Indosat merupakan aset negara yang hingga kini, masih
menguntungkan. Indosat termasuk BUMN yang sangat vital, demikian juga PT.
Dahana (Pembuatan bahan peledak) dan PT. Pindad (Produksi senjata). Ketiga BUMN
tersebut memerlukan perhatian yang khusus.
Selain itu, Indosat telah menguasai
jaringan informasi nasional. Di sisi lain, semua mekanisme pemerintahan
sangat terpaku pada jaringan informasi tersebut. Misalnya saja MPR, DPR,
Kepresidenan, Departemen, Badan Intelijen Negara, TNI, Polisi dan banyak
lembaga lainnya. Andai saja Indosat dijual pada pihak asing, besar
kemungkinan semua informasi termasuk rahasia
negara, dengan mudah bisa diketahui pihak asing.
Tanpa menafikan uraian
tadi. Fokus publik sekarang ditujukan pada fakta bahwa PT. Indosat adalah aset
negara yang “menguntungkan”. Divestasi BUMN dapat dimaklumi, jika BUMN yang
bersangkutan berada dalam keadaan kritis. Meski secara umum, tetap saja, image
divestasi berkonotasi “kurang baik”.
Namun, kalau BUMN memberi
keuntungan negara, tapi penyelenggara negara bersikeras untuk
menjualnya. Di sini, perlu ada penyelidikan lebih intensif, apa dan
bagaimana ittikad penyelenggara yang sesungguhnya.
PT. Indosat adalah aset
menguntungkan, tentu banyak perusahaan asing yang berminat membelinya. Harga
saham perusahaan bisa melonjak. Etisnya, PT. Indosat tidak boleh dijual, sebab
itulah asset bangsa yang mampu mendatangkan kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Kondisinya lain, jika
penyelenggara negara menganggap, asset negara yang menguntungkan adalah untuk kepentingan
pribadi atau golongan; maka divestasi adalah jalan lempang mengeruk
keuntungan pribadi atau golongan. Inilah apa sebabnya Amien Rais mengatakan,
tindakan pejabat ini sebagai ultimate crime against the nation, kejahatan
puncak terhadap negara (Kompas, 27/12/02). Divestasi di satu sisi, dapat
meringankan beban bangsa, jika lembaga yang dimaksud membebani negara. Akan
tetapi divestasi bisa memperkaya penyelenggara negara, jika lembaga yang
menjalani divestasi, adalah lembaga yang menguntungkan. Divestasi model kedua
ini—yakni divestasi terhadap BUMN yang menguntungkan—adalah salah satu bentuk
kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara. Memperoleh keuntungan pribadi
dengan mengorbankan bangsanya sendiri.
Government Crime
Jika meminjam istilah Nikos
Passas dan David Nelken[1] kita menemukan bahwa penyimpangan yang
dilakukan pemerintah—menjual aset negara secara serampangan—adalah jenis
kejahatan Government Crime. Menurut Passas dan Nelken, Government
Crime adalah tindakan illegal yang dilakukan penyelenggara negara, atau
tindakan illegal yang didukung pemerintah, atau berada dalam sepengetahuan
pemerintah (or with their knowledge) atau menjadi beking bagi
pelaku kejahatan (as well as those that cover up other persons crime). Sebagian
besar Government Crime dilakukan individu untuk kepentingan peribadi,
konco-konco dan partai politik. Menurut Hagan (1989) Kejahatan ini
adalah crime by agents of the corporation against the general public, penyimpangan
yang dilakukan pejabat sebuah institusi, yang korbannya adalah masyarakat umum[2].
Selaras dengan itu,
perilaku kriminal yang menggunakan sarana kekayaan (akumulasi kapital)
dan kekuasaan (powerful) dalam ilmu kriminologi terkenal sebagai white-collar
crime yang kita singkat dengan WCC.
Dinamakan white-collar crime (kejahatan
krah putih) sebab, pelakunya berasal dari kaum perlente, berbaju rapi
atau orang-orang berdasi.
Kriminolog klasik, Edwin
Sutherland (1930) mendefinisikan WCC sebagai “suatu kejahatan yang
dilakukan oleh seorang yang terhormat atau berwenang (respectability) dan
status sosial tinggi terhadap pekerjaan yang tanganinya”. White collar crime
defined as a crime commited by a person of respectability and high social
status in the course of his occupation.
Defenisi “kejahatan krah
putih” klasik di atas, kamudian diperluas oleh Herbert Edelhertz (1970)
dalam bukunya The Nature, Impact, and Prosecution of White Collar Crime. Menurutnya
WCC adalah “serangkaian perilaku illegal yang dilakukan secara
tersembunyi, atau melalui tipu muslihat (guile) untuk mendapatkan uang,
atau properti, atau bisnis, atau keuntungan pribadi”. ….white collar crime,
describing it as “an illegal act or series of illegal acts committed by
nonphysical means and by concealment or guile to obtain money or property or
….to obtion business or personal advantage[3].
Pelaku kejahatan krah putih
umumnya melakukan kerjasama penyimpangan dengan teman sejawat atau
seprofesi. Saat individu mempunyai wewenang (authority) sebagai penentu
kebijakan (policy maker), kebijakannya cenderung menguntungkan
kepentingan pribadi ketimbang publik. Aktivitas penyimpangan dilakukan secara
illegal dan mengelabui proses hukum yang ada.
Sulit untuk mengungkap
kejahatan WCC. Sebab pelakunya adalah orang yang mempunyai ikatan khas dengan
penguasa. Sedangkan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) yang
menanganinya senantiasa berada dalam bayang-bayang rezim yang
sedang berkuasa. Kalaupun akhirnya bisa ditangkap dan diadili. Pelaku WCC
umumnya diadili di pengadilan sipil (Civil Court). Dalam pengadilan
sipil, pelaku dapat memainkan kekayaan (rich) dan pengaruh kekuasaan (powerful).
Misalnya melakukan suap terhadap polisi, pengacara, jaksa, dan hakim.
Atau melakukan pendekatan terhadap pejabat-pejabat terkait. Bridges, Weis dan
Crutchfield (1996) menyatakan, pelaksanaan hukum hanya proaktif pada
golongan miskin[4].
Pelaku white-collar crime (offender) mampu mempengaruhi berat tidaknya
hukuman di pengadilan (Clear dan Dammer, 2000)[5].
Dalam kriminologi,
khususnya viktimologi (ilmu tentang korban kejahatan) sungguh sulit
mengidentifikasi siapa-siapa saja yang menjadi korban dari “Kejahatan Krah
Putih”. Apakah korbannya adalah individual, etnis, warna kulit, usia,
pendidikan atau lainnya. Kesulitan identifikasi korban, berakibat pada sulitnya
menuntut pelaku kejahatan jenis ini. It is difficult to estimate the extent
and influence of white collar crime on victim because all too often, those who
suffer the consequences of white-collar crime are ignored by victimologists[6].
Tentu, makna sulitnya mencari
korban bagi perilaku “Kejahatan Krah Putih” merupakan sebuah ironi. Sebab,
korban yang sebenarnya bukan tidak ada, namun sangat banyak dan paling
banyak. Uang “publik” yang pindah tangan, terbukti bukan dilakukan
oleh pencuri atau perampok (atau yang kita namakan dengan street crime).
Namun dilakukan oleh orang-orang yang berbaju putih dan berdasi, manusia
berkrah putih.
Fenomena kejahatan krah
putih, memang beda dengan kejahatan lain. Seringkali statistik kriminal tidak
relevan dengan kejahatan jenis ini. The focus on white-collars is not
consistent with other statistic. Itulah yang dikatakan Magnusson dalam
tulisannya The White-Collar Crime Explosion, (1992). Ia menemukan
data kejahatan dalam sebuah survey A National Law Journal, sebanyak 47
persen kasus narkoba, 32 persen perampokan dan perkosaan, 11 persen kasus
pemerasan dan 3 persen kasus kejahatan krah putih[7].
Uniknya, yang paling sulit diselesaikan di pengadilan adalah kejahatan krah
putih.
Kejahatan krah putih juga,
terbukti mampu menghancurkan kepercayaan; sekaligus melemahkan dan
menghancurkan iklim perdagangan nasional. Kriminolog Siegel (2000), mengatakan
White-collar crime also destroys confidance, saps the integrity of
commercial life, and has the potential for devastating destruction. White-Collar
crime biasanya terjadi pada instansi pemerintah. Pelakunya adalah mereka yang
memiliki wewenang sebagai pembuat kebijakan pada sebuah institusi pemerintahan.
***********
Akhirnya, semua harus sadar bahwa
sumber keajegan bangsa adalah kita sendiri. Kalau kita ingin menjadi warga
negara Indonesia yang baik, sumbernya adalah memperbaiki diri sendiri. Kalau
ingin membentuk kewibawaan pemerintah, maka sumbernya adalah pejabat itu
sendiri. Meski kondisi fisik hanya satu orang pejabat, namun ia adalah
representasi dari jutaan orang Indonesia. Adalah wajar jika ia berlaku salah,
yang menanggungnya adalah jutaan orang itu juga. Kejahatan yang dilakukan
pejabat negara, mampu menghancurkan kepentingan bangsa dan negara secara
keseluruhan.
Endnote
[1] Nikos Passas and David Nelkin, The Fight Against
Economic Criminality in The European Community, penulis mengutip dari Siegel,
Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont
USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,
halaman 387.
[2] Hagan, Frank E., Introduction to Criminology, Chicago: Nelson-Hall,
1989, Halaman 105.
[3] Herbert Edelhertz, dalam bukunya The Nature, Impact, and
Prosecution of White Collar Crime, 1970, penulis mengutip dari Siegel,
Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont
USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,
halaman 386.
[4] Bridges, Weis dan Crutchfield Ed.), Criminal
Justice, Volume 3 of Crime and Society, California: Pine Forge Press, 1996, Lihat
halaman 36.
[5] Clear, Todd R., and Dammer, Harry R., The
Offender in The Community, Belmont C.A.: Wadsworth, 2000, halaman 155.
[6] Lihat Siegel, Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont
USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,
halaman 387.
[7] Magnusson, Roger J., The
White-Collar Crime Explosion, New York: McGraw-Hill, 1992, halaman 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar