Sabtu, 02 November 2013

Government Crime, penyimpangan dalam divestasi indosat


PENYIMPANGAN DALAM DIVESTASI INDOSAT
Government Crime

Chairil A Adjis
Dudi Akasyah
 
Penjualan aset negara (BUMN) melalui divestasi yang terjadi di penghujung tahun 2002 memunculkan kontroversi. Banyak aset-aset negara yang dilelang pada pihak asing. Alasan divestasi adalah untuk mengurangi beban negara, di samping menambah APBN.
Divestasi dapat diterima, sepanjang BUMN tersebut benar-benar merugikan dan membebani negara. Masalahnya sekarang adalah, tidak semua aset negara tersebut merugikan. Masih banyak aset negara yang menguntungkan atau paling tidak masih bisa diperbaiki kinerjanya. Jika kondisi BUMN tersebut masih bisa ditolong. Apalagi menguntungkan. Maka pemerintah tidak berhak untuk melakukan divestasi.
Yang menarik perhatian kita adalah, divestasi PT. Indonesian Satellite Corp (PT. Indosat) pada perusahaan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT).  Sekarang, perusahaan Singapura ini, menguasai mayoritas saham Indosat sebanyak 41,94 persen!
Yang mengundang permasalahan adalah, Indosat merupakan aset negara yang hingga kini, masih menguntungkan. Indosat termasuk BUMN yang sangat vital, demikian juga PT. Dahana (Pembuatan bahan peledak) dan PT. Pindad (Produksi senjata). Ketiga BUMN tersebut memerlukan perhatian yang khusus.
Selain itu, Indosat telah menguasai jaringan informasi nasional. Di sisi lain, semua mekanisme pemerintahan sangat terpaku pada jaringan informasi tersebut. Misalnya saja MPR, DPR, Kepresidenan, Departemen, Badan Intelijen Negara, TNI, Polisi dan banyak lembaga lainnya. Andai saja Indosat dijual pada pihak asing, besar
kemungkinan semua informasi termasuk rahasia negara, dengan mudah bisa diketahui pihak asing.
Tanpa menafikan uraian tadi. Fokus publik sekarang ditujukan pada fakta bahwa PT. Indosat adalah aset negara yang “menguntungkan”. Divestasi BUMN dapat dimaklumi, jika BUMN yang bersangkutan berada dalam keadaan kritis. Meski secara umum, tetap saja, image divestasi berkonotasi “kurang baik”.
Namun, kalau BUMN memberi keuntungan negara, tapi penyelenggara negara bersikeras untuk menjualnya. Di sini, perlu ada penyelidikan lebih intensif, apa dan bagaimana ittikad penyelenggara yang sesungguhnya.
PT. Indosat adalah aset menguntungkan, tentu banyak perusahaan asing yang berminat membelinya. Harga saham perusahaan bisa melonjak. Etisnya, PT. Indosat tidak boleh dijual, sebab itulah asset bangsa yang mampu mendatangkan kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Kondisinya lain, jika penyelenggara negara menganggap, asset negara yang menguntungkan adalah untuk kepentingan pribadi atau golongan; maka divestasi adalah jalan lempang mengeruk keuntungan pribadi atau golongan. Inilah apa sebabnya Amien Rais mengatakan, tindakan pejabat ini sebagai ultimate crime against the nation, kejahatan puncak terhadap negara (Kompas, 27/12/02). Divestasi di satu sisi, dapat meringankan beban bangsa, jika lembaga yang dimaksud membebani negara. Akan tetapi divestasi bisa memperkaya penyelenggara negara, jika lembaga yang menjalani divestasi, adalah lembaga yang menguntungkan. Divestasi model kedua ini—yakni divestasi terhadap BUMN yang menguntungkan—adalah salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara. Memperoleh keuntungan pribadi dengan mengorbankan bangsanya sendiri.
Government Crime
Jika meminjam istilah Nikos Passas dan David Nelken[1] kita menemukan bahwa penyimpangan yang dilakukan pemerintah—menjual aset negara secara serampangan—adalah jenis kejahatan Government Crime. Menurut Passas dan Nelken, Government Crime adalah tindakan illegal yang dilakukan penyelenggara negara, atau tindakan illegal yang didukung pemerintah, atau berada dalam sepengetahuan pemerintah (or with their knowledge) atau menjadi beking bagi pelaku kejahatan (as well as those that cover up other persons crime). Sebagian besar Government Crime dilakukan individu untuk kepentingan peribadi, konco-konco dan partai politik. Menurut Hagan (1989) Kejahatan ini adalah crime by agents of the corporation against the general public, penyimpangan yang dilakukan pejabat sebuah institusi, yang korbannya adalah masyarakat umum[2].
Selaras dengan itu, perilaku kriminal yang menggunakan sarana kekayaan (akumulasi kapital) dan kekuasaan (powerful) dalam ilmu kriminologi terkenal sebagai white-collar crime  yang kita singkat dengan WCC. Dinamakan white-collar crime  (kejahatan krah putih) sebab, pelakunya berasal dari kaum perlente, berbaju rapi atau orang-orang berdasi.
Kriminolog klasik, Edwin Sutherland (1930) mendefinisikan WCC sebagai “suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang terhormat atau berwenang (respectability) dan status sosial tinggi terhadap pekerjaan yang tanganinya”. White collar crime defined as a crime commited by a person of respectability and high social status in the course of his occupation.
Defenisi “kejahatan krah putih” klasik di atas, kamudian diperluas oleh Herbert Edelhertz (1970) dalam bukunya The Nature, Impact, and Prosecution of White Collar Crime. Menurutnya WCC adalah “serangkaian perilaku illegal yang dilakukan secara tersembunyi, atau melalui tipu muslihat (guile) untuk mendapatkan uang, atau properti, atau bisnis, atau keuntungan pribadi”. ….white collar crime, describing it as “an illegal act or series of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile to obtain money or property or ….to obtion business or personal advantage[3].
Pelaku kejahatan krah putih umumnya melakukan kerjasama penyimpangan dengan teman sejawat atau seprofesi. Saat individu mempunyai wewenang (authority) sebagai penentu kebijakan (policy maker), kebijakannya cenderung menguntungkan kepentingan pribadi ketimbang publik. Aktivitas penyimpangan dilakukan secara illegal dan mengelabui proses hukum yang ada.
Sulit untuk mengungkap kejahatan WCC. Sebab pelakunya adalah orang yang mempunyai ikatan khas dengan penguasa. Sedangkan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) yang menanganinya senantiasa berada dalam bayang-bayang rezim yang sedang berkuasa. Kalaupun akhirnya bisa ditangkap dan diadili. Pelaku WCC umumnya diadili di pengadilan sipil (Civil Court). Dalam pengadilan sipil, pelaku dapat memainkan kekayaan (rich) dan pengaruh kekuasaan (powerful). Misalnya melakukan suap terhadap polisi, pengacara, jaksa, dan hakim. Atau melakukan pendekatan terhadap pejabat-pejabat terkait. Bridges, Weis dan Crutchfield (1996) menyatakan, pelaksanaan hukum hanya proaktif pada golongan miskin[4]. Pelaku white-collar crime (offender) mampu mempengaruhi berat tidaknya hukuman di pengadilan (Clear dan Dammer, 2000)[5].
Dalam kriminologi, khususnya viktimologi (ilmu tentang korban kejahatan) sungguh sulit mengidentifikasi siapa-siapa saja yang menjadi korban dari “Kejahatan Krah Putih”. Apakah korbannya adalah individual, etnis, warna kulit, usia, pendidikan atau lainnya. Kesulitan identifikasi korban, berakibat pada sulitnya menuntut pelaku kejahatan jenis ini. It is difficult to estimate the extent and influence of white collar crime on victim because all too often, those who suffer the consequences of white-collar crime are ignored by victimologists[6].
Tentu, makna sulitnya mencari korban bagi perilaku “Kejahatan Krah Putih” merupakan sebuah ironi. Sebab, korban yang sebenarnya bukan tidak ada, namun sangat banyak dan paling banyak. Uang “publik” yang pindah tangan, terbukti bukan dilakukan oleh pencuri atau perampok (atau yang kita namakan dengan street crime). Namun dilakukan oleh orang-orang yang berbaju putih dan berdasi, manusia berkrah putih.
Fenomena kejahatan krah putih, memang beda dengan kejahatan lain. Seringkali statistik kriminal tidak relevan dengan kejahatan jenis ini. The focus on white-collars is not consistent with other statistic. Itulah yang dikatakan Magnusson dalam tulisannya The White-Collar Crime Explosion, (1992). Ia menemukan data kejahatan dalam sebuah survey A National Law Journal, sebanyak 47 persen kasus narkoba, 32 persen perampokan dan perkosaan, 11 persen kasus pemerasan dan 3 persen kasus kejahatan krah putih[7]. Uniknya, yang paling sulit diselesaikan di pengadilan adalah kejahatan krah putih.
Kejahatan krah putih juga, terbukti mampu menghancurkan kepercayaan; sekaligus melemahkan dan menghancurkan iklim perdagangan nasional. Kriminolog Siegel (2000), mengatakan White-collar crime also destroys confidance, saps the integrity of commercial life, and has the potential for devastating destruction. White-Collar crime biasanya terjadi pada instansi pemerintah. Pelakunya adalah mereka yang memiliki wewenang sebagai pembuat kebijakan pada sebuah institusi pemerintahan.
***********
Akhirnya, semua harus sadar bahwa sumber keajegan bangsa adalah kita sendiri. Kalau kita ingin menjadi warga negara Indonesia yang baik, sumbernya adalah memperbaiki diri sendiri. Kalau ingin membentuk kewibawaan pemerintah, maka sumbernya adalah pejabat itu sendiri. Meski kondisi fisik hanya satu orang pejabat, namun ia adalah representasi dari jutaan orang Indonesia. Adalah wajar jika ia berlaku salah, yang menanggungnya adalah jutaan orang itu juga. Kejahatan yang dilakukan pejabat negara, mampu menghancurkan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.
Endnote


[1] Nikos Passas and David Nelkin, The Fight Against Economic Criminality in The European Community, penulis mengutip dari Siegel, Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,  halaman 387.
[2] Hagan, Frank E., Introduction to Criminology, Chicago: Nelson-Hall, 1989, Halaman 105.
[3] Herbert Edelhertz, dalam bukunya The Nature, Impact, and Prosecution of White Collar Crime, 1970, penulis mengutip dari Siegel, Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,  halaman 386.
[4] Bridges, Weis dan Crutchfield Ed.), Criminal Justice, Volume 3 of Crime and Society, California: Pine Forge Press, 1996, Lihat halaman 36.
[5] Clear, Todd R., and Dammer, Harry R., The Offender in The Community, Belmont C.A.: Wadsworth, 2000, halaman 155.
[6] Lihat Siegel, Lary, Criminology, Seventh Edition, Belmont USA:Wadsworth/Thomson Learning, 2000,  halaman 387.
[7] Magnusson, Roger J.,  The White-Collar Crime Explosion, New York: McGraw-Hill, 1992, halaman 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar